“Women from Rote Island” sebagai Kritikan Visual dan Sosial

women

Catatan satu sisi dari pembicara Rika Jo. S.Psi., C.Ht., perihal film Women from Rote Island (2023) yang mendapatkan banyak penghargaan serta tampil di berbagai ajang festival film baik nasional pun internasional

Film Women from Rote Island (2023), sutradara Jeremias Nyangoen, bukan sekadar karya sinema, tetapi jeritan nurani yang menyatu dengan lanskap budaya dan penderitaan manusia di Pulau Rote. Film yang dirilis secara luas pada Februari 2024 itu mendapat banyak apresiasi—termasuk terpilih mewakili Indonesia dalam pemilihan internasional Oscar sebagai Best International Feature Film dan menarik perhatian banyak kalangan karena keberanian mengangkat isu kekerasan seksual dalam kerangka budaya adat.

diskusi
Rika Jo, S.Psi., C.Ht., dalam acara bedah film Women From Rote Island untuk berikan kesadaran anti kekerasan seksual oleh BLM UNSIL di Wisma FKIP Unsil, 23 Oktober 2025/

Pada forum SEKATA (Suara Edukatif Kampus Tanpa Kekerasan) III BEM Universitas Siliwangi Departemen Pemberdayaan Perempuan & Anti Kekerasan Seksual (23 Oktober 2025), dengan pembahas Rika Jo, S.Psi., C.Ht., (pegiat teater & jurnalis, berlatar pendidikan Psikologi UIN Jakarta), film ini dibedah bukan hanya sebagai karya estetis, tetapi sebagai ruang refleksi sosial, budaya, dan psikologis terhadap perempuan marginal di Indonesia Timur.

Narasi Cerita & Tema Utama

Film dibuka dengan adegan kematian Abram, sang ayah, yang belum dikuburkan lebih dari seminggu karena menunggu kepulangan Martha, anak sulungnya. Martha pulang setelah bekerja secara ilegal di negeri Jiran dan dalam keadaan tidak normal: sikapnya berubah, pendiam, ketakutan terhadap sosok laki-laki brewok, menyebut “Datuk” sebagai kata gaib penuh makna. Ketika Martha belum pulang dan jenazah suaminya belum dikubur, muncul insiden pelecehan seks terhadap Orpa (ibu Martha) di pasar — sebuah adegan yang memicu tuduhan “tulah” karena melanggar adat (keluar dari rumah saat masih periode duka).

Seiring cerita berlalu, konflik semakin intens: Martha mengalami rudapaksa, kemudian hamil dan melahirkan; pelakunya ternyata sang paman sendiri. Anak bungsunya, Bertha, menolak pria dewasa dan mengalami mutilasi sebagai konsekuensi. Orpa (ibu) kemudian terpaksa “menyerahkan tubuhnya” demi menemukan siapa pelaku mutilasi Bertha.

Dalam film ini sangat nampak kepekaan terhadap posisi perempuan yang tidak aman: apabila seorang perempuan keluar dari peran tradisional dukungan adat atau norma lokal, ia dianggap melanggar tabu, dan pelanggaran itu segera diberi cap “karma adat” atau tulah.

Latar Pulau Rote (NTT) sendiri menjadi karakter naratif tersendiri: jauh dari pusat pulau besar, secara geografis marginal, budaya adat sangat kuat, akses terhadap lembaga formal (termasuk layanan kesehatan mental atau hukum) terbatas. Konteks keisolasian ini memperparah kerentanan korban kekerasan seksual, khususnya jika pelakunya bagian dari keluarga atau tokoh adat.

Dengan latar itu, karakter seperti Damar (tokoh laki-laki di film) yang bersikap peduli dan menghargai Martha bukanlah hanya karakter pendukung drama, melainkan simbol bahwa masih ada ruang kemanusiaan di tengah struktur adat patriarki yang kaku.

Konteks Budaya Patriarki dan Realitas Sosial

Walaupun sutradara secara eksplisit mungkin tidak memakai istilah “patriarki” sebagai label, film ini memetakan struktur sosial di Rote yang secara implisit patriarkal: kaum laki-laki lebih dulu dilayani, perempuan disibukkan menyiapkan makanan dan melayani adat; laki-laki makan dulu, baru perempuan; tokoh Damar yang mengajak Martha makan bersama menjadi adegan penting karena ia “melanggar” kebiasaan sosial-lokal dalam tindakan kecil tapi simbolis.

Pernyataan seperti ini muncul dalam pengalaman nyata seorang teman yang pernah tinggal di pulau Rote: meskipun adat tidak diucapkan langsung sebagai sistem patriarki, praktik sosial menunjukkan ketidaksetaraan gender dalam hal prioritas fisik atau waktu bersama makanan, kesempatan berbicara, serta keputusan-keputusan adat kolektif.

Itulah mengapa dialog sederhana antara Damar dan Martha makan bersama menjadi signifikan dalam film: itu bukan hanya adegan romantis, tetapi gestur simbolik atas usaha mendobrak norma budaya tersembunyi. Bahkan di media sosial ramai #carisuamisepertimasdamar.

Aspek ini mendukung gagasan bahwa kekerasan seksual dalam film tidak muncul dari “orang luar jahat”, tetapi bersarang dalam dinamika relasi kekuasaan keluarga & adat — pelaku bisa saja “orang terdekat” (seperti paman Martha) — dan korban berada dalam posisi yang tak mampu menolak karena gangguan mental yang dideritanya.

Pendekatan Psikoanalisis terhadap Kekerasan Seksual dalam Film

Menggunakan pendekatan psikodinamik atau psikoanalitik, kita bisa melihat bahwa pelaku kekerasan seksual yang berasal dari keluarga dekat mencerminkan konflik id-superego dalam individu dan masyarakat.

  • Id adalah dorongan naluriah — agresi seksual atau kekuasaan yang ditekan (represi) oleh norma sosial/adat.
  • Ketika represi terlalu kuat, energi id bisa “meledak” dalam tindakan tersembunyi (seperti perbuatan rudapaksa oleh orang dekat).
  • Superego — kesadaran moral internal atau internalisasi norma adat / agama — mungkin gagal berfungsi efektif.

Korban (Martha atau Bertha) tidak memiliki “penjaga laki-laki” formal atau figur perlindungan yang kuat; Orpa sebagai ibu memiliki posisi moral dan emosional, tetapi kekuasaannya dibatasi oleh adat dan status sosialnya sendiri. Ketidakadaan figur laki-laki penjaga menambah kerentanan mental dan fisik — memperkuat bahwa pelaku dan korban ada dalam sistem yang timpang secara simbolik.

Dalam forum SEKATA, pendekatan seperti ini penting disampaikan agar audiens umum memahami bahwa kekerasan seksual bukan hanya persoalan individu, tetapi bisa terkait dengan struktur sosial budaya, adat dan stigma mental yang tak terlihat secara kasat mata.

Pelajaran Sosial & Implikasi

Berikut beberapa pelajaran yang bisa diambil masyarakat umum dan penggiat anti-kekerasan dari film ini:

  1. Pengawasan terhadap orang dengan gangguan mental

Martha pulang dengan gangguan psikologis akibat trauma kekerasan seksual di luar negeri — film menunjukkan bahwa ia “tak berdaya”, takut terhadap sosok laki-laki, berhalusinasi dan membutuhkan dukungan kesehatan mental formal seperti rumah sakit jiwa (dirujuk ke Kupang). Di tempat itu, tetua adat lebih memilih mengurung atau merantai daripada merawat secara profesional. → Indikasi bahwa di daerah terpencil, akses layanan kesehatan mental sangat terbatas, dan stigma adat bisa “menggantikan” perawatan klinis.

  1. Adat dan stigma sosial dapat memperburuk penderitaan korban

Ketika keluarga Orpa dianggap melanggar adat (keluar saat duka belum selesai, menunggu jenazah suami belum dimakamkan), stigma sosial langsung muncul dalam bentuk tuduhan tulah dan “karma adat”. Ini mencegah korban atau keluarganya berbicara terbuka, berupaya ke jalur hukum, atau mencari pemulihan psikologis tanpa tekanan sosial.

  1. Kekerasan seksual adalah isu struktural, bukan hanya individual

Pelaku adalah anggota keluarga sendiri (paman), korban adalah anak kandung (Bertha), dan ibu kepala keluarga (Orpa) berada dalam posisi tawar sosial rendah terhadap adat dan struktur lokal. Maka solusinya pun bukan hanya polisi atau hukum nasional, tetapi perubahan budaya lokal, pemberdayaan perempuan, pendidikan pemahaman hak, serta penguatan layanan kesehatan mental dan keadilan lokal.

  1. Film sebagai media edukatif & reflektif

Dalam forum kampus seperti SEKATA, film semacam Women from Rote Island bisa digunakan sebagai bahan diskusi kritis: bagaimana masyarakat lokal memahami trauma, peran lembaga adat, dan apa peran kita sebagai generasi terdidik (mahasiswa/perempuan aktivis) untuk membuka dialog perubahan.

Women from Rote Island menghadirkan lebih dari kisah tragis; ia menyulam keindahan budaya Rote dengan luka sejarah keluarga yang tak terkatakan. film ini mengingatkan kita: pengawasan kolektif, empati terhadap korban gangguan mental atau trauma, dan penghargaan terhadap keadilan formal lokal adalah langkah awal menuju perubahan.***


Apakah artikel ini membantu?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *