BERANDA HATI

beranda hati1

Maafkan aku semua, wahai sahabat, kawan, teman, saudara, kekasih, dari semua yang pernah kenaliku dan tersentuh oleh jemariku, terbuai akan kata serapahku, maafkan aku telah hadir dalam kehidupan kalian, dalam nyata kalian, bahkan sesaat terbayang dalam imajinasimu. Maafkan aku telah membuat kalian terhina, tersesak, dan menyekap dalam belenggu muak.

Akulah yang telah mengantarkanmu pada gerbang dosa di sana. Saat dimana kamu jengkel pada sikapku, saat dimana risih pada setiap kata-kataku. Saat dimana amarahmu kau redam bersama kehebatan kuasa atas jiwa-jiwamu. Aku benar benar merasa malu padamu, mereka, kalian. Setiap hari kuhadirkan padamu coretan yang seakan bertutur, menambah spam di antara tatanan struktur keindahan yang kau desain secara rumit, dan aku hadir di sana laksana menjadi pelangi, bersinar bagai cahaya.

Akan tetapi, tidak! Kalian pergi. Diam dalam kata. Membisu dalam beku. Tak benar memperdulikanku. Yah … karena memang apa yang harus diperdulikan dari adaku? Ditunggu-tunggu dariku? Kehadiranku tak lebih hanya kabar buruk bagimu. Membuat kusam pandanganmu, bagai debu menodai kaca kaca.  Dari semua yang telah kurasakan itu, perlahan pergi di antara kalian, yang pernah aku sematkan harap padamu.

Memberi jawaban dengan penuh santun dan kesopanan. Ini adalah isyarat bahwa aku bukanlah seperti yang telah dilontarkan itu, bukan juga dari bahasa kelembutan penolakan, kemarahan, serta ketidaksengajaan ucapan dan tindakanmu, melainkan kalian telah mengajarkan padaku sebuah perhentian merasa paling hebat.

Maafkan aku. Maafkanlah aku, semoga memori tak mampu lagi mendatangkan keingatan pada perwujudanku. Kalian akan lebih menemukan sesuatu yang berharga dari segala yang menjadi pencarian-pencarian selama ini. Aku benar benar merasa malu. Aku benar-benar dibuat malu.

Rindu dalam ruang berbelenggu seakan statis. Pada sketsa yang coba aku lukis. Goresannya tak sengaja mengukir nama kalian, menggambar wajah kalian. Mencoba aku melarikan diri. Namun entah kemana aku langkahkan kaki ini pada siapa aku harus bersrmbunyi, lalu kemudian secuil hati pun selalu bertanya mungkinkah dengan seperti itu akan membawa kalian pada taman keindahan? Pikirlah kembali semua itu.

Secerah sinar dalam labirin itu acap kali menghipnotis kesadaranku. Mengoyak ngoyak sejengkal demi sejengkal relung jiwaku, menerobos dinding yang sudah aku bangun begitu lama, dinding yang aku bangun dari luka, duka, susah, senang, derita airmata, kemudian hancur berkeping keping hingga meluluh lantahkan kembali semua matrial itu. Karena satu zat bernama nafsu.

Dalam kamar; aku menyekap tubuh bagaikan seorang pengembara kehilangan peta perjalanannya. Terkapar tak berdaya berselimut kepasrahan, pasrah pada alam yang sesekali memakanku dengan binatang buasnya, merebahkan tubuhku dengan runtuhnya pepohanan, mengubur sekujur tubuhku dengan tanah yang sewaktu waktu akan terbelah bergesernya lempeng cengkraman akar mereka. Beruntungnya radarmu melacak keberadaanku dan kau kirimkan sinyal dari satelit sebuah orbit perputaran bumi.

Wajah kalian begitu kemayu, seperti kunyit yang aku kuliti, sisa hampasnya menempelkan warna pada kulitku, berbekas tak hilang terbasuh oleh air, menyatu dengan warna pada telapak tanganku. Mungkinkah itu Sari (kalian)? Apakah kamu hadir untukku? Benarkah? Dalam hati selalu bergumam pertanyaan itu. Aku merasakan getaran yang lain dari kamu. Masih banyak kunyit yang lain yang lebih subur, lantas kenapa hanya kamu yang aku gali?

Pusing rasanya jikalau hal semacam ini datang dan terus datang lagi. Saat dimana apa yang menjadi bentuk gelisahku tak pernah ada yang mau mendengar, tak pernah ada yang mau menuruti. Pada awalnya, terkadang mengajakku sekedar ingin bertukar pendapat, seperti rasa. Ada bentuk. Ada perlakuan yang manusiawi terhadapku.

Entahlah, semuanya selalu sirna dan musnah manakala kenyataan motoriknya selalu terjadi bukan atas dari apa yang telah dikaji dan terkonsep dalam konstitusi kebenaran. Seolah olah apa yang diucapkanku hangus dalam bara, melebur menjadi sekam. Ah, yang ada hanya asap. Ya, asap kebencian, asap amarah, asap pengkerdilan, asap stigma, diskrimasi, apalagi dan sebagainya.

Kemudian memuncak pada satu asap ketinggian, keluhuran, keagungan, yang dinamakan kesombongan. Kesombongan yang meluap luap, jika aku merasa ingin diikuti, ucapanku wajib dituruti, memandang semua yang ada adalah salah dan aku selamanya benar. Oh Tuhan … seakan akan kamu sesaat aku hilangkan dalam konsep berpikirku, engkau lenyap dalam ambisiku, pudar oleh kenikmatan pujian dan sanjungan.

Aku ini tak punya hak mempunyai hak preogratifmu (mereka), aku bukan hakim dan aku tak pernah punya syarat memutuskan semuanya. Tak ada kewajiban bagiku, membuat mereka menurutiku, tak ada pula keharaman manakala mereka tidak menuritiku. Tetaplah jamahi aku dalam setubuh yang aku rasakan begitu mesra ini, peliharalah cintaku agar tak mudah menyelingkuhimu. Engkaulah yang lebih berhak. Engkaulah yang lebih tahu.

Saat kurasuki pagi ini, dalam bimbang saat dirimu (Sari) kulihat dalam gambar yang sekelebat bergerak sesaat. Namun mampu menyiksa benakku sehingga sulit membuatku merasa harus merebahkan sayap dalam kenikmatan anyaman bulu sang penglihat. Semalam, aku berusaha merayumu dalam bahasa yang monoton, kaku dalam gerak pada ruang dinding pemisah antara dimensi yang berbeda, bukan dimensi alam, tapi dimensi jarak.

Begitu bergantian, engkau hadir dalam setiap raut mukanya, yang aku bayangkan, bersama imajinasi yang terus aku coba tumbuh kembangkan. Jika itu adalah sarat sampai pada puncak cintamu, guncangkanlah kedahsyatan yang lebih berwarna dari aroma bunga bunga di taman sana, Sari.

Seperti ada dalam detik pergolakan yang luar biasa. Beringas laksana lodaya mencengkram daging dalam suasana kelaparan. Bak gelombang pasang samudera meluluhlantahkan pantai dalam hitungan detik saja. Tak ada lagi mengenal siapa, tak lagi harus peduli pada mereka. Semuanya bukan karena sesuatu pertimbangan. Namun karena memang keharusan hukum alam melindasnya secara realitas tanpa pertanyaan.

Ketika zaman berubah laksana aliran darah dalam tubuh, menghantarkan tanpa tak pernah termanajemen oleh dokumenterial semua alat indera. Entah siapa yang menjadi mangetnya dan entah siapa bagian public relation-nya, tetapi tubuhmu terbawa dalam tempat yang memang dibutuhkan tanpa disadari itu yang dicari atau pun tak; hanya titik kesadaranlah yang semuanya akan meng-tibakan setiap pribadi terjerat dalam tuntunan ke-Mahaan Sang Pengatur.

Apakah setiap utusan sekomplek itu mementingkan manajemen syiar ataukah memang mereka mengerjakan sesuatu memikirkan keruwetan adanya pola dan sistematika kerja penyebaran. Tentunya, patokan dan acuaanya bukan siapa dan harus bagaimana caranya. Lagian tak pernah ada cerita sejarah yang menguatkan bahwa manajemen pengumpul mushaf atau hadist itu sudah ditunjuk langsung oleh Nabi untuk menjadi bagian di dalamnya.

Karena ini harus menjadi sesuatu, kiranya apa yang dirasakan mereka itu juga sama ketika segi material dalam hidupnya tak begitu menunjang jika harus menyediakan manajemen sedemikian rumit. Bukankah para utusan itu terlahir secara sederhana? Kategori miskin dalam ranah materinya tak begitu menunjang? (Ini sekedar tafsir bersambung), tapi kenyataan dari itu semua mereka malah asyik bersahaja dalam jeratan kesengsaraan sedemikian itu.

Berkawan dengan kelaparan. Berkarya tanpa paksaan tuntutan. Potret alam seakan tersedia pada setiap apa yang dilakukannya, di mana semuanya berjalan tanpa harus ada memorandum breafing dan konsepsi secara terperinci yang rumit. Lalu kemudian hasilnya? Memang benar begitu, semuanya telah terbentuk dari konsepsial dalam ruhani mereka, bahwa kita adalah bagian dari sekumpulan manajemen kehidupan yang menaati sistem dan mekanisme status tugas sebagai manusia.

Semua itu terlahir tanpa disadari karena ada nilai kebesaran, nilai ketinggian. Karena potret kehidupan itu murni dan bersifat sejati. Jadi biarkanlah yang mengaturnya yang paling berkewajiban. Kita itu tak pernah tau hal baik dan yang lebih baik, yang ada hanya terlalu berandai andai dan angan angan. Tidak menunggu hari esok dalam berbuat, tidak perlu harus menimbang dalam bertindak, karena keputusan terbaik adalah melakukannya dengan segala bentuk keikhlasan tanpa paksaan dan pamrih.

Sebab Tuhanlah yang maha lebih bertanggung jawab untuk menentukan. []


Apakah artikel ini membantu?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *