Kelahiran dan Lingkungan Bertumbuh
Sebenarnya, saya berada dalam situasi yang cukup rumit untuk mendeskripsikan sosok Syarifuddin Dea: Babe. Hal ini disebabkan oleh dua alasan utama. Pertama, sebagai anak biologis (selain Agung Pandu Wijaya, Nila Monalisa, Godam Mahardika, Elok Teja Suminar, dan Nonny Mentari Bungsu), pandangan saya tentu tidak terlepas dari bias subjektif. Kedua, saya juga merupakan anak ideologis, seperti perihalnya anak-anak ideologis Babe yang lain (Didik Wahyudi, Alek Subairi, Moch. Fauzi, A. Muttaqin, Sangat Mahendra, dan Citra Dara Vresty Trisna). Kami menerima banyak hal yang beragam, yang tentunya dipengaruhi oleh cara kami berinteraksi dan bergaul.

Babe lahir pada tanggal 26 Mei 1945 di lingkungan keluarga aristokrat, keturunan raja Bangkalan dari garis silsilah ayah. Ayah beliau -kakek saya-, merupakan seorang pegawai kantor koperasi yang idealis dan bersih. Suka memberi pekerjaan pada seseorang, demi seseorang tersebut memiliki nafkah atau penghasilan. Tidak pernah mau menerima hadiah apa pun dari pihak lain bila berhubungan dengan pekerjaannya, dan menolak tegas tawaran mendapatkan motor dan mobil dinas. Kakek saya yang sederhana, memilih tetap menggunakan sepeda onthel miliknya, pulang-pergi kantor. Ketika menyaksikan teman-teman di lingkungan pekerjaannya menerima hasil bumi dari petani saat kunjungan ke desa, kakek saya merasa muak dan terang-terangan mengatakan, bahwa proses suap-menyuap adalah biang dari perilaku korup. Lalu setiba di rumah, sepulang dari kantor, beliau menyerukan, bahwa anak-anaknya tak ada yang boleh menjadi pegawai negeri. Kalimat ini ditegaskan kembali sebelum beliau wafat.
“Kakekmu meninggal sekitar tahun 1985. Sebelum pensiun dari pekerjaannya, tahun 1980an, terdapat aturan, setiap pegawai negeri sipil yang purna masa tugasnya diberi tempat untuk memasukkan anaknya menjadi PNS. Sebagai bentuk konsistensi dari sikap dan ucapannya, kakekmu tak pernah menggubris kesempatan itu. Kakekmu justru memasukkan tiga anaknya ke pesantren. Dua tantemu, dan saya,” Om Bilal, adik bungsu Babe memberi kesaksian.
Kelahiran Babe, setidaknya ditandai oleh dua peristiwa besar yang berlangsung di negeri ini. Dua peristiwa, yang kemudian memberi arti penting bagi perjalanan kebangsaan kita berIndonesia. Pertama, selang tiga hari setelah Babe dilahirkan, pada tanggal 29 Mei 1945, BPUPKI menggelar sidang pertama di Gedung Chuo Sangi In, Jakarta. Dalam pertemuan ini, para tokoh nasionalis Indonesia berdebat, merumuskan dasar negara dan konstitusi. Kedua, dua bulan setelah kelahiran Babe, pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno membacakan teks proklamasi dan bangsa Indonesia mengajukan kedaulatannya kepada dunia.
Sedikitnya di masa kanaknya, Babe pernah berada di tengah asuhan feodalisme. Polisi perempuan pertama di Bangkalan, bibinya -sepupu kakek-, membawa Babe tinggal bersama. Beliau sangat memanjakan Babe, sekaligus menentang keras Babe bermain dengan teman sebaya yang berasal dari kaum kebanyakan.
Pada sebuah pengakuan, kejadian ini membekas dalam ingatan Babe dan menggugah ketidaksepakatan dalam dirinya. Hati kecilnya menolak pembedaan. Di kemudian hari, antipati yang semakin besar dan upaya-upaya penghancuran terhadap feodalisme yang kerap bermutasi dalam berbagai bentuk itu, dapat kita jumpai dari laku sikap Babe yang juga tercermin pada puisi-puisinya. Paham kesetaraan yang dianut Babe dan keberpihakannya pada rakyat kecil adalah buktinya.
“Mas Syarif seorang yang egaliter. Beliau memiliki pergaulan yang luas dan dapat berinteraksi dengan siapa saja dari lingkungan mana pun. Mendudukkan orang lain sejajar dengan dirinya dan menempatkan lawan bicaranya dengan keilmuan yang setara.” Om Bilal, adik bungsu Babe menyematkan kesan khusus.
Karir Menulis, Sikap Kepenyairan, Pilihan Gaya, Refleksi dan Relasi
Aktivitas berkesenian Babe dimulai sejak tahun 1963. Merunut dari tahun kelahiran, usia Babe saat itu lebih kurang sekitar 18 tahun. Usia ini dipercaya sebagai fase memasuki masa produktif, dimana secara biologis mau pun psikologis, seseorang berada di puncak perkembangan fisik, mental, dan emosional. Pada tahapan ini, kemampuan menyerap dan belajar sangat tinggi, kreativitas berkembang pesat, serta semangat dan energi mencoba tantangan baru dioptimalkan untuk menjawab keingintahuan. Secara sosial, usia ini dianggap sebagai masa transisi menuju kedewasaan, dimana seseorang mulai bertanggungjawab atas pilihan hidupnya, termasuk dalam berkarya dan berkontribusi pada masyarakat.
Pilihan berkesenian tersebut menunjukkan, bagaimana Babe mengawali karier kepenyairannya dua tahun lebih muda dari Chairil Anwar, seperti kita lihat pada puisinya berjudul “Nisan” dan “Penghidupan” yang ditulis pada tahun 1942. Bertahun lampau, saya merawat dokumentasi berupa kliping pemuatan puisi-puisi Babe di Majalah Gelora, Harian Angkatan Bersenjata, dan Obor Revolusi. Kondisi pembangunan rumah yang belum kelar, menyebabkan pengarsipan saya menjadi porak-poranda, sehingga data-data tersebut tak bisa saya selamatkan untuk setidaknya ikut serta saya hadirkan.
Pada tahun 1963 dan selebihnya, Babe menjadi wartawan freelance untuk beberapa surat kabar, menetap dan beraktivitas di Laksmi (Lembaga Kebudayaan Muslim Indonesia) di bawah naungan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Kantor Laksmi saat itu bersebelahan dengan Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) di bawah Nahdlatul Ulama (NU), tepatnya di Jalan Kali Asin, Surabaya. Menurut Om Imam, adiknya Babe, kakek saya pernah menjabat sebagai Ketua Umum PSII. Bisa jadi disebab inilah mengapa Babe menjatuhkan pilihan berkarya dan menempa diri di sana.
Realitas sosial politik dan ekonomi di Indonesia berada di bawah bayang-bayang petaka pada pertengahan 1960an. Pasca kemerdekaan dan pemutusan perselisihan dengan Belanda tahun 1949, negeri ini digempur habis-habisan oleh politik internal yang mengerikan. Konflik ideologi yang melibatkan kaum nasionalis, partai-partai Islam dan komunis, termasuk militer; berhadap-hadapan antara satu dengan yang lain.
Di perjalanan keterpurukan, Indonesia tahun 1963 menunjukkan situasi penuh dinamika yang kompleks. Dimulai dari masalah konfrontasi dengan Malaysia yang tak menemukan jalur perundingan, defisit ekonomi, hingga dominasi Soekarno. Melalui sistem Demokrasi Terpimpin, Soekarno memegang kendali penuh dan menempatkan dirinya sebagai pemimpin tunggal negara. Fungsi partai politik dilemahkan, sementara Soekarno menggalang kekuatan dengan dukungan dari militer dan Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI berkembang pesat dan menjadi salah satu kekuatan politik yang dominan. Ini puncak kegagalan pemerintahannya.
Pada tahun yang sama, sejak militer Indonesia mulai menunjukkan kekuatan politiknya yang signifikan, seiring dengan peran sentralnya dalam pemerintahan Sukarno, di bawah sistem Demokrasi Terpimpin, tentara tidak hanya berfungsi sebagai alat pertahanan negara tetapi juga menjadi aktor politik dan ekonomi. Hal ini memberikan ruang bagi sejumlah tindakan militer yang dianggap melampaui batas kewenangan atau berpotensi menggunakan kekuasaan mereka untuk kepentingan pribadi mau pun kelompok.
Presiden Soekarno pernah mengundang seniman dan budayawan dari 4 kabupaten di Madura ke Istana Negara. Seperti penuturan Babe, misi kesenian ke Jakarta itu menelan anggaran mark up yang fantastis dan tidak dipertanggungjawabkan. Seorang jenderal yang tak memiliki kapasitas dan relevansi apa-apa di bidang kesenian, berdiri di belakang kegiatan ini. Berbekal liputan dan data yang cukup, Babe memuatnya di sebuah surat kabar. Berita ini membuat gempar dan menyulut kemarahan para pihak yang diuntungkan, terutama sang jenderal yang disebutkan. Sehari setelah pemuatan berita, Babe dipanggil ke kantornya. Di sana, di sebuah ruangan, sang jenderal memasukkan moncong pistol ke mulut Babe sembari mengancam, “Syarif, kamu tarik berita itu atau kamu ambil resikonya? Saya kasih kamu waktu 1×24 jam untuk tarik berita itu! Sekarang keluar!”
Babe melangkah keluar dari ruangan tanpa menyiratkan ketakutan apa pun. Di rumah, Babe menemui kakek dan minta pendapatnya. “Bila yang kamu perjuangkan adalah kebenaran, kamu tak punya alasan kecuali menghadapinya. Jangan surut!” Babe terhenyak. Jawaban yang di luar dugaan itu memberinya semangat untuk melawan. Babe tak menarik berita. Jendral lain dengan pangkat yang lebih tinggi mengusik kasus itu dan berdiri di belakang Babe.
Babe merupakan salah seorang dari sekian banyak pemuda yang tumbuh gelisah dalam asuhan masa. Gemuruh politik yang terjadi, memberi andil yang tak sedikit terhadap pembentukan karakter, pemahamannya dan penyikapannya, di tengah transisi besar-besaran, dimana nilai-nilai nasionalisme, perjuangan dan adaptasi sedang diuji.
Persinggungannya dengan buku-buku sastra, perjumpaannya dengan berbagai seniman dan pemikiran kebudayaan, pergumulannya dengan rekan-rekan wartawan seprofesinya, pergaulannnya dengan kelompok kiri dan para pemikir partai, menempanya untuk mempertajam nalar kritis dan mengharuskannya setia menjaga akal sehat, untuk konsisten melawan segala bentuk kesewenang-wenangan.
Kerja Teks dan Kerja di Luar Teks
Gejolak situasi di Indonesia yang berlangsung pada saat itu dan pergaulannya dengan kelompok-kelompok kritis, tampaknya tidak merasuki puisi-puisi Babe. Ada kesan kuat, Babe memberlakukan pemilahan yang cukup ketat antara kerja teks dan kerja di luar teks.
Intensitas aktivitasnya yang relevan dalam usaha memperbaiki pola pikir melalui aksi dan diskusi, tidak kemudian membuat puisinya menjadi puisi pampflet yang lugas dan provokatif.
Mari kita baca puisi Sebuah Desa (1965) pembuka kumpulan ini:
SEBUAH DESA
datang pertama dibelainya daku dengan desir cemara
lunak lekat peluknya bertaut mesra dalam dada
aku pengelana datang dari daerah gersang
bersama hatiku yang paling karib mengulur salam
senja o, begitu indah pagari desa
sebelum burung malam menyingkap sayap dari utara
perawannya yang bikin hati tambah tertambat
dari tingkahnya yang lembut ketabahan terjual
kutatap langit yang melingkup buminya
mereka sedang bersorak
kami bangsa perkasa yang lebih keras dari sejuta siksa
juga seperti sobat-sobat setanah air
tak ada yang luput senyum ditelan maut
tangan atas tangan bertumpu sejalan
dalam belenggu yang semakin tipis ini semua
menantang menanti pembebasan
terasa kuntum cinta mulai membuka
Bangkalan 1965
Perpaduan antara suasana alam yang puitis, renungan tentang ketabahan dan perjuangan hidup suatu kaum disajikan dalam puisi ini. Kehidupan desa sebagai tempat singgah kembara yang membawa luka dan gersang jiwa. Desa dengan keindahan dan ketabahannya, menjadi simbol harapan, perjuangan, sekaligus cinta di tengah tantangan. Pilihan diksi seperti desir cemara dan peluknya bertaut mesra menciptakan suasana melankoli yang menyejukkan. Dalam konteks sejarah, puisi ini merepresentasikan gejolak sosial-politik tahun 1965 menjelang peristiwa G30S/PKI, di mana ketegangan antara harapan dan kekerasan, tampak sebagai sebuah paradoks. Dalam frasa “kami bangsa perkasa yang lebih keras dari sejuta siksa” menunjukkan, bagaimana diksi liris dengan suara reflektif, membangun imaji yang kontras antara keindahan dan penderitaan. Puisi ini menjadi bentuk ekspresi estetika dan pernyataan politik, yang memadukan renungan personal dengan kesadaran kolektif tentang pentingnya perjuangan.
Keriuhan yang terdapat di luar tidak serta-merta dibawa masuk ke dalam. Babe justru menjatuhkan pilihan estetiknya pada puisi liris, dimana perjalanan-perenungan ke dalam dirinya kita jumpai pada puisi-puisi yang dihasilkan dalam periode ini. Babe, seperti membiarkan seluruh pertanyaan beserta pengetahuan yang didapat melalui indera dan pengalaman empirisnya sebagai proses kreatif itu, mengendap hingga meninggalkan saripati. Peristiwa bahasa yang sublim sebagai puisi, yang diramu lantaran kecerdasan nalar puitiknya.
Pilihan gaya ungkap ini berlangsung hingga periode 80an, sampai Babe menghasilkan puisi Episode Jalan Simpang (1995), yang dapat dibaca sebagai sinyal dan maklumat perubahan, atas pergeseran estetiknya dari puisi liris menuju realisme sosial.
Saya turunkan puisi ini dalam versi utuh;
EPISODE JALAN SIMPANG
tiada upeti tiada
mendali untukmu negeri tua
menohok sejarah dengan sampah
percuma kau usir dalam asa semakin parah
hingga di sini kutaktahu pasti
nyeri puisi dalam tabah
mestikah punya arti
dari tikam diri
atau berserah!
Bangkalan, 1995
Tema kesedihan dan kekecewaan terhadap sejarah mewarnai sebagian teks puisi-puisi Babe. Di dalam puisi ini, penggambaran kekecewaan terhadap kondisi “negeri tua” yang terjebak dalam sejarah suram, sebagai “menohok sejarah dengan sampah”, mencerminkan kritik sekaligus isyarat, agar bangsa ini memiliki kesadaran keluar dari lingkaran kesalahan di masa lalu.
Peran Yang Selibat
Orde Baru (1966–1998), melalui kepemimpinan Soeharto, dikenal sebagai rezim yang otoriter. Kontrol yang sangat ketat di segala bidang diberlakukan terhadap masyarakat. Eskalasi konflik meningkat tajam, meski pun intensitasnya tidak selalu merata di berbagai daerah. Konflik-konflik tersebut umumnya berhubungan dengan sentralisasi kekuasaan, represi terhadap perbedaan politik, dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak adil. Rezim ini menggunakan militer sebagai alat utama untuk menekan oposisi. Menciptakan sistem Dwifungsi ABRI, yang memberikan peran ganda militer: menjaga keamanan dan ikut serta dalam pemerintahan.
Salah satu puncak eskalasi konflik tahun 1996 adalah Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli). Peristiwa politik ini berkaitan dengan kekerasan pengambil-alihan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di bawah kepemimpinan Megawati, yang dilakukan oleh pemerintah. Kerusuhan ini memakan banyak korban jiwa. Babe memiliki empati yang cukup serius terhadap partai yang kemudian berganti nama menjadi PDIP ini. Bahkan sempat berkontribusi aktif dan selalu bersuara lantang tentang Kudatuli di berbagai forum diskusi. Namun setelah Megawati menjadi presiden dan tak pernah mempersoalkan kasus ini, atas alasan keberpihakan terhadap keadilan, Babe menarik diri dari partai ini dan menyatakan kekecewaan terhadap Megawati.
Kita tahu bahwa peran-peran Babe adalah peran bermasyarakat. Peran-peran selibat; bagaimana seorang individu dapat bermanfaat bagi masyarakat luas, bagaimana seorang seniman seharusnya bersikap dan memiliki nilai fungsi di antara pergeseran-pergeseran nilai yang terjadi di lingkungan kebudayaannya. Babe mengkritisi kebijakan pemerintah daerah yang menyimpang dan korup, berdiskusi dan membuka nalar kritis orang-orang yang menjumpainya.
Puisi-puisi yang ditulis Babe pada rentang tahun 1990 – 2000an ke atas, terefleksi pada sikap hidupnya. Puisinya bergerak sejajar dengan laku kerja-kerja perubahan yang dicita-citakannya. Di periode ini, puisi-puisi Babe dan tulisan-tulisannya yang lain terus menggemakan suara kemerdekaan, keberpihakan dan perang terhadap ketidak-adilan. Puisi-puisnya tidak lagi ke dalam, tapi tetap tidak menjadi puisi pampflet.
Peran Babe bagi dunia kesusastraan.
Babe sangat berkomitmen pada dunia kesusastraan. Saya dan Elok Teja Suminar merupakan anak biologisnya yang memilih untuk terjun di dunia kesusastraan. Di kesenian, saya memilih menulis puisi, esai sastra dan naskah pertunjukan. Sempat berteater dan aktif bermusik. Sementara Elok menulis puisi dan novel. Bersama suaminya, Robi Akbar (penyair dan seniman teater asal Lampung) membangun JuangFlute, sebuah industri kreatif yang berkonsentrasi pada pembuatan suling dahan.
Saya mengingat cerita Mamak, dimana saat saya masih di dalam kandungan, Babe sering membacakan puisi untuk saya. Begitu besar cinta Babe pada puisi, hingga Mamak pernah menyampaikan kepada saya, bagaimana Babe ingin salah satu anaknya menjadi seorang penyair.
Tahun 1998 pertemuan saya, Babe, Lenon Machalli, Sri Wahyuni dan Mardi Luhung kemudian mencetuskan nama Lingkar Sastra Junok, yang diorientasikan sebagai sebuah komunitas sastra dan laboratorium sikap. Lahirnya Lingkar Sastra Junok ditandai dengan penerbitan sekaligus launching dua buku puisi dalam kegiatan Temu Sastra Junok. Buku kumpulan puisi yang pertama berjudul Anak Beranak (LSJ, 1998), yang berisi puisi-puisi saya dan Babe. Buku kumpulan puisi yang kedua berjudul Istana Loncatan (LSJ, 1998), yang berisi puisi-puisi 37 penyair se-Jawa dan Bali. Sejumlah nama, seperti Korrie layun Rampan, Oka Rusmini, Arief B.Prasetyo, Hidayat Raharja, Arie MP Tamba, Mardiluhung, Anas Yusuf, dan Sosiawan Leak, serta sederet nama yang lain mengisi buku ini. Temu Sastra Junok dihadiri begitu banyak penyair. Aslan Abidin (Makassar), bahkan jauh-jauh hadir menyempatkan diri setelah menghadiri sebuah acara puisi di Jakarta.
Temu Sastra Junok berlangsung di rumah Babe, yang sekaligus merupakan sekretariat Komunitas Lingkar Sastra Junok. Keseluruhan pembiayaan, mulai dari penerbitan buku, lanching dan kegiatan yang berlangsung selama dua hari dua malam itu, termasuk menjamu tamu-tamu yang hadir, didanai Babe secara mandiri. Babe menjual dua kapling tanah untuk kegiatan tersebut.
Dalam keseluruhan kegiatan Lingkar Sastra Junok yang berlangsung, terdapat Mamak yang mendukung kami dengan keluasan hati. Bedah buku, pertunjukan teater, pembacaan puisi, dan workshop-workshop memenuhi agenda komunitas. Termasuk menjadi jujugan teman-teman dari luar kota; baik perupa, penyair, pemusik dan komunitas-komunitas teater dari kota lain; dari Pamekasan (dimana kedatangannya bisa sampai 25 orang dan tinggal hingga dua atau tiga hari), Semarang, Jakarta dan Medan. Selain itu, Lingkar Sastra Junok juga kerap menghadiri undangan kegiatan dari kota-kota lain.
Lingkar Sastra Junok melahirkan beberapa nama, termasuk saya dan Elok, juga Helmi yang kemudian memilih berproses di tempat lain. Sederet nama tak saya sebutkan, sebab tidak aktif lagi.
Tumbuh kembang dan perjalanan keberlangsungan Lingkar Sastra Junok dapat dikatakan sama nasibnya dengan komunitas sastra secara umum, mengalami pasang surut. Setelah hampir tiga tahun berproses, Lingkar Sastra Junok meredup, seiring dengan surutnya aktivitas sebab penghuninya terus berkurang.
Perjumpaan saya dengan Didik Wahyudi dan Alek Subairi (tahun 2001), M. Fauzi dan Sangat Mahendra (tahun 2002) dan Si Ragil Yang Tengil, A. Muttaqin (2004), —bukan sekedar perjumpaan, kami kemudian berproses di keluarga padusan —. Kami berlima beserta Babe kemudian mengisi kelengangan di Lingkar Sastra Junok dengan diskusi-diskusi yang terus berlangsung tanpa ujung. Kelima anak-anak ideologis Babe ini, walau pun berproses bersama tetapi kami memiliki kecenderungan yang relatif berbeda. Misalnya saja, Didik Wahyudi menulis puisi, menekuni dunia film dan keaktoran. Alek Subairi menulis puisi dan menekuni senirupa. A. Muttaqin menulis puisi dan prosa. Moh. Fauzi menulis puisi dan terjun ke dunia politik. Sangat Mahendra menulis puisi dan menjadi seniman panggung. Saya menulis puisi dan bermusik.
Hal ini menunjukkan, bahwa Babe merupakan kedung, sumur, gentong, semacam empu, yang menjadi sumber-sumber inspirasi bagi anak-anak ideologisnya untuk menimba atau menyerap ilmu, sebagai bekal untuk dijadikan pijakan berproses menurut kecenderungan masing-masing.
Bojonegoro, 6 Desember 2024


 
			

 
			 
			