Kuraih gelas berisi kopi hitam tanpa gula. Kuteguk pelan, meski pahit memang, tapi itu sudah biasa. Kunyalakan tembakau yang dibungkus rapih kertas putih sebentuk jariku.
Crek.. crek … Buuuusss.
Kepulan asap perlahan mengisi ruang sunyiku. Hisapan demi hisapan menghadirkan nuansa keyakinan yang terus mengikuti kemanapun arah pemikiranku yang semakin liar, seliar kepulan asap putih. Semestinya panas asap tembakau ini bisa sedikit membantu untuk mencairkan otakku yang terasa semakin beku dengan urusan dunia.
Setengah batang sudah rokok yang kunikmati, baru tersadar bahwa disampingku ada sosok yang selalu dirindukan;
Yaitu diriku sendiri yang terdahulu, setia menemaniku meski kadang menyebalkan dengan segala pertikaian dan pertengkaran untuk urusan ya atau tidak.
Lirih kusapa dia, “Hai Fi … Tetap di sini ya fi, jangan jauh-jauh!”
“Egois!”
“Egois?”
“Justru, ketika mencintai diri sendiri, dapat memberikan lebih banyak untuk orang lain karena kita lebih bahagia dan lebih sehat secara mental dan emosional!” Pangkas Plato yang tiba-tiba hadir. []









