KULDESAK

kuldesak

“Jiwaku hanya bisa gila olehmu, satu!” ucap dua bayang berbarengan. Selebihnya hening merajut hening dan waktu menyapunya menjadi rahasia meski ada yang tersia, seperti guguran daun yang dihumuskan waktu. Riang mereka kini menjadi jeda, seolah setiap tarikan napas hanya mampu mengingat yang hanya diingat oleh ingatan.

Pada akhirnya, kebenaran sejati ada di dalam kesalahan itu sendiri. Dan yang paling menyakitkan itu bukan pula mendengar ucapan selamat tinggal, tapi hening setelahnya—saat sadar—tak ada lagi yang bisa digenggam. Sebagaimana perjalanan terjauh manusia itu bukanlah dari satu alamat ke alamat lain, melainkan perjalanan dari pikirannya itu menuju hatinya sendiri—sebelum membusuk di kedalaman tanah—berhiaskan bunga rampai.

**

Aku harus pergi sebentar, sekadar untuk mengubur ruang yang sudah dirancang tanpa perhitungan matang. Engkau harus percaya segenap rasa, bahwa ini adalah jalan terbaik demi impian kita bisa terwujud dengan segera.

Maaf: Mohon dengan sangat, aku harus pergi sebentar saja dan engkau harus percaya pada apa yang telah ditata bersama di ruang sadar kita. Gaun merah yang aku kenakan ini penanda mutlak ringkik kuda di tengah malam.

**

Kala engkau berjanji akan pergi sebentar, aku seperti kehilangan mantel di musim penghujan. Meski segenap rasa tak pernah rela—tapi apa daya—janji adalah hutang yang harus engkau lunasi dengan segera. Hari-hari lewat dengan catatan musim pancaroba. Aku kantongi keyakinanmu tanpa jeda, meski terselip kecewa.

Dan kini kita tak pernah lagi berbicara perihal mimpi, tapi keheningan di antara kita tak lagi sembunyi—melainkan saling menggenggam tanpa perlu terkesan dengan hal-hal yang terlalu dalam untuk diungkapkan. Bukan karena lemah—melainkan memberi waktu bagi cahaya untuk menetap di sekeliling atmosfer kita.

**

Pada malam-malam yang panjang dan dingin di itu bulan Juli yang berlanjut di bulan September, udara terkadang lembut dan dua tokoh belia yang gila itu berkelana ke sumber-sumber romansa. Mekar telang dan kantung semar—getahnya meruap bak aroma lumut dengan getaran-getaran kecil yang lembut dan hidup dalam ritmik sebelum melayu.

Kisah dua tokoh belia yang gila itu bak seumur kupu. Satu mengantongi keyakinan. Satu melunasi janji. Selebihnya hari-hari lewat dengan catatan musim pancaroba: Ya, dari kepolosan menuju kesadaran. Menuju penerimaan. Mereka seolah mendaki puncak Himalaya, terhambat oleh lereng yang licin. Berhenti di tengah jalan dengan gigil tubuh di batas giris.

Bergantung pada tali yang terpilin. Luas langit dari biru jernih jadi badai salju. Buku-buku jari mereka berupaya mencakar bebatuan. Tergelincir. Tercelup. Terjebak. Bergelantung pada alur-alur kecil yang begitu jauh dari tanah. Lamat-lamat terbaca sudah sebuah enigma dari skema kejatuhan—setelah mencari dari apa yang ada di atmosfer dingin selama ini.

**

“Aku harus kembali kepadamu bukan pada yang lain!” ucap dua bayang yang mulai melayu. Selebihnya hening merajut hening dan waktu menyapunya menjadi rahasia, meski ada yang tersia, seperti guguran daun yang dihumuskan waktu. Riang mereka kini menjadi jeda, seolah setiap tarikan napas hanya mampu mengingat yang hanya diingat oleh ingatan.

Pada akhirnya, benci dan rindu itu tiba di hati yang sama dan diberangkatkan dari laku yang sama pula, sebagaimana batas kesabaran itu bukan lagi emosi, melainkan diam dan mulai tak peduli. Dan tujuan yang paling mengerikan itu terletak pada makna benci dan rindu itu sendiri, seolah menjadi simbol pencerahan yang tak hanya menerangi ruang, tapi juga hati mereka yang hadir dalam situasi dan kondisi yang tak seimbang. []

BUKAN PEMILIK KATA
Baca Tulisan Lain

BUKAN PEMILIK KATA


Apakah artikel ini membantu?

One thought on “KULDESAK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *