SEMIOTIKA HUKUM DAN FILSAFAT HIKMAH

hukum 1

Dalam pengamatan saya, ada kecenderungan yang cukup kuat di tengah masyarakat untuk melihat hukum secara negatif. Hukum dianggap sebagai alat yang keras, kejam, bahkan lebih berpihak pada kekuasaan ketimbang pada keadilan. Anggapan semacam ini bukan muncul tanpa alasan; pengalaman sehari-hari memperlihatkan bahwa hukum kerap kali gagal menjawab rasa keadilan masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum justru menjadi alat pembenaran bagi ketimpangan dan ketidakadilan. Tak hanya itu, bahasa hukum pun seringkali terasa dingin dan menekan, sarat dengan diksi-diksi yang seolah menghakimi. Maka wajar jika banyak orang memandang hukum dengan rasa curiga, bahkan apatis.

Namun, dalam refleksi yang lebih dalam, saya justru menemukan bahwa ada makna hukum yang jauh lebih adil dan manusiawi—dan itu bisa kita temukan dalam filsafat hukum Islam. Di sana, ada satu konsep penting yang bisa menggeser cara kita melihat hukum: hikmah. Dalam pengertian sederhana, hikmah berarti kebijaksanaan. Tapi dalam konteks hukum, ia tidak sekadar menjadi nilai tambahan, melainkan justru inti dari bagaimana hukum semestinya dimaknai. Hikmah menggambarkan bahwa hukum bukan sekadar alat pengatur perilaku, melainkan jalan menuju kemaslahatan, keadilan, dan keseimbangan hidup. Dengan begitu, hukum tidak lagi sekadar “aturan main”, tapi sebuah etika yang berpihak pada nilai-nilai kebaikan.

Kalau kita tarik ke pendekatan filsafat ilmu, pemahaman hukum bisa dibangun dari tiga sudut: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Secara ontologis, kita bertanya: “apa sih hakikat hukum itu?” Jawaban yang muncul tidak cukup jika hanya mengacu pada pasal-pasal atau produk peraturan. Hukum sejatinya adalah sistem nilai yang hidup dalam masyarakat—satu rangkaian norma yang menuntun manusia untuk tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Lebih dari itu, hukum juga mengandung tuntunan etis yang membimbing manusia untuk bersikap bijaksana, bukan sekadar patuh.

Secara epistemologis, pengetahuan tentang hukum mestinya tidak hanya bersumber dari teks normatif atau logika positivistik. Hukum juga perlu dipahami lewat nilai-nilai moral, kebudayaan, bahkan spiritualitas yang tumbuh dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum Islam, hal ini tercermin dalam metode-metode seperti ijtihad, qiyas, dan istihsan—yang semua menekankan pentingnya memahami konteks, mempertimbangkan maslahat, dan tidak kaku terhadap teks. Jadi, hukum bukan sekadar hasil logika formal, melainkan hasil tafsir yang hidup dan berkembang.

Lalu dari sisi aksiologi, hukum harus diarahkan pada tujuan-tujuan luhur: keadilan, kemaslahatan, perlindungan terhadap hak dasar manusia, dan pencegahan kerusakan. Jika hukum dijalankan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai ini, maka hukum hanya akan jadi instrumen kosong. Di sinilah pentingnya hikmah—karena ia menuntut adanya keseimbangan antara kepastian hukum (legal certainty) dan keadilan yang bersifat substantif.

Nah, kalau kita kaitkan ini dengan pendekatan semiotika hukum, maka jelas terlihat bahwa hukum sejatinya adalah sistem tanda—dan setiap tanda punya makna. Dalam praktik sosial, hukum tidak hanya hadir sebagai teks atau norma, tapi juga sebagai simbol kekuasaan, keadilan, atau bahkan ketakutan. Ketika masyarakat melihat hukum sebagai “jahat” atau “kejam”, sebenarnya mereka sedang membaca tanda-tanda yang muncul dari simbol hukum itu sendiri—entah dari perilaku aparat, bunyi pasal, gaya komunikasi lembaga, hingga pengalaman atas penegakan hukum yang timpang.

Semiotika hukum membantu kita memahami bahwa hukum bukanlah sesuatu yang netral. Tanda-tanda hukum bisa dimaknai berbeda-beda oleh masyarakat, tergantung pada pengalaman, budaya, dan struktur kekuasaan. Maka jika hukum kehilangan makna etisnya, bukan semata karena teks hukumnya yang keliru, tetapi juga karena tanda-tanda sosial yang dibentuk oleh praktik hukum itu sendiri. Artinya, hukum bukan cuma soal “aturan”, tapi juga “pesan” yang dibaca masyarakat—dan pesan itu bisa dimaknai negatif jika nilai-nilainya tak dirasakan.

Dalam konteks ini, membedakan antara “peraturan” dan “hukum” jadi penting. Peraturan adalah bentuk konkret dari sistem hukum, yang teknis dan operasional. Ia berkaitan langsung dengan struktur kelembagaan dan tata kelola. Sementara hukum, dalam arti filosofis, adalah struktur nilai dan makna. Ia bersifat abstrak, normatif, dan hidup dalam kesadaran kolektif. Jika peraturan kehilangan ruh nilai, maka ia tak ubahnya hanya sekadar instruksi yang dingin dan tak berjiwa.

Maka, jika kita ingin mengembalikan citra hukum yang lebih adil dan berpihak kepada rakyat, sudah saatnya kita memaknai hukum sebagai jalan kebijaksanaan—bukan semata produk legal formal. Hukum yang membawa hikmah adalah hukum yang hidup, yang berakar pada nilai, dan menyentuh hati. Hukum yang bukan sekadar dilihat, tapi dirasakan keadilannya.

Dalam kerangka ini, filsafat hukum Islam dan semiotika hukum bisa saling melengkapi. Yang satu memberi kerangka nilai (hikmah), dan yang satu lagi membaca bagaimana nilai itu tampil dalam ruang sosial. Keduanya mengingatkan kita bahwa hukum bukan hanya soal “apa bunyi pasalnya”, tapi juga soal “apa maknanya bagi manusia”. []


Apakah artikel ini membantu?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *