PENYAIR KOPLAK

koplask 1

Aku ini penyair gendeng, sableng, edan, tapi jangan salah, batin dan pikiranku masih sehat, sebab kegilaanku bukan karena kehilangan arah, melainkan karena negeri ini terlalu waras dalam kepalsuan, terlalu tenang dalam kebohongan, terlalu sopan dalam penjajahan model baru.

Aku tertawa di tengah upacara bendera, karena merah putih dikibarkan tapi hati kita sudah lusuh, di panggung politik orang berdebat soal pasal dan ayat, sementara di dapur rakyat, nasi tinggal kerak.

Aku tak perlu jadi pahlawan reformasi, cukup jadi penyair yang menulis dengan darah dan jujur pada luka. Kata orang, aku edan karena berteriak di tengah pasar,

“Wahai para penguasa, berhentilah menjual bangsa ini per kilo!” Tapi siapa sebenarnya yang waras, aku yang gila karena jujur, atau mereka yang tersenyum sambil menilep pajak rakyat dari celah amplop dan proyek fiktif?

Aku penyair sableng, bukan karena suka mabuk, tapi karena sudah muak melihat orang waras yang berperan gila: anggota dewan yang berdiskusi tentang kemiskinan di hotel bintang lima, anak pejabat pamer sedekah sambil bikin konten,
guru yang dibungkam karena menasihati murid pejabat, dan rakyat kecil yang terus disalahkan atas dosa kolektif bangsa ini.

Ah, aku gendeng karena masih mencintai negeri ini, padahal negeri ini sering menolak cintaku. Setiap kali kutulis tentang keadilan, selalu ada tangan halus yang mencoba menghapusnya dengan senyum manis. Setiap kali kubicara tentang kebenaran, selalu ada meja rapat yang memutuskan untuk diam.
Tapi aku tidak diam! Aku masih menulis puisi di dinding kota,
di tembok tua bekas kantor kelurahan, di batu nisan para pejuang yang tak dikenal, karena sejarah bangsa ini terlalu sering ditulis oleh pemenang, bukan oleh yang berdarah demi keadilan.

Aku penyair gila, tapi bukan dukun yang menjual mantra demi jabatan.
Aku hanya menulis doa dalam bentuk satire, karena doa yang lembut sering kalah oleh kebijakan yang keras. Tuhan tahu, aku mencintai bangsa ini setulus air mata ibu-ibu di pasar, yang tetap tersenyum walau uang belanja tak cukup untuk membeli garam.

Kalian sebut aku edan karena berani menyindir penguasa, padahal aku hanya ingin mereka bercermin di sungai yang sama tempat rakyat mencuci luka dan pakaian mereka.
Aku ingin pejabat belajar menunduk, bukan sekadar menatap kamera, karena negeri ini butuh pemimpin yang rendah hati, bukan selebritas berjas dan berslogan palsu.

Hei, saudaraku sesama rakyat kecil, jangan takut jadi gila sepertiku! Gila karena peduli, bukan karena putus asa. Gila karena berani jujur, bukan karena haus kuasa. Bangsa ini akan mati jika semua orang memilih diam, dan hidup lagi jika kegilaan cinta tanah air menular ke hati kita.
Aku sableng karena masih percaya pada gotong royong, padahal sekarang semua berlomba dalam gengsi dan utang, yang miskin disalahkan karena malas, yang kaya dipuji meski korupsi terselubung di balik donasi. Tapi aku tetap tersenyum, karena setiap kali rakyat kecil tertawa di tengah kesulitan, itu bukti bahwa jiwa bangsa ini belum sepenuhnya kalah.

Wahai negeri, aku menulis bukan untuk menghina, tapi untuk menyembuhkan luka yang kita pura-pura tidak lihat. Aku menulis karena cinta, cinta yang kasar tapi jujur, cinta yang marah tapi tak tega meninggalkan.

Aku tidak ingin revolusi berdarah, aku hanya ingin kesadaran berakar. Aku tidak ingin rakyat melawan rakyat, aku ingin rakyat melawan kebodohan dan ketakutan. Aku penyair gendeng, yang menulis dengan kata-kata yang meledak seperti mercon, karena bisikan lembut tak lagi didengar oleh telinga yang penuh janji politik. Tapi di balik kegilaanku ada harapan: bahwa suatu hari, anak-anak negeri ini tak perlu lagi menghafal nama-nama koruptor, melainkan nama-nama guru, petani, nelayan, yang kembali dihormati sebagai pahlawan sejati.

Kalian boleh menyebutku sableng, karena masih percaya bangsa ini bisa berubah, meski setiap pagi koran hanya berisi aib, dan televisi menayangkan drama pejabat yang pura-pura peduli. Tapi aku tahu, di warung kopi dan mushola kecil,
rakyat masih bicara dengan hati jernih. Mereka lelah, tapi belum menyerah. Dan di situlah aku menemukan kewarasanku.

Aku edan, tapi batinku tak pernah busuk. Aku gendeng, tapi otakku tak mau dibeli. Aku sableng, tapi masih mau sujud dan berdoa:

“Tuhan, jadikan bangsa ini kembali waras dalam kasih dan kejujuran.” Jika kegilaanku bisa menular, biarlah ia menjangkiti generasi muda, agar mereka tak tumbuh jadi boneka yang takut bersuara. Biarlah mereka berteriak dengan puisi, bukan dengan amarah yang membabi buta. Biarlah mereka menulis sejarah dengan tinta nurani, bukan tanda tangan di atas amplop tebal.

Dan jika nanti aku mati, biarlah nisanku ditulis:

“Di sini berbaring penyair gendeng yang tetap waras mencintai bangsanya.” Karena kegilaan ini bukan penyakit, melainkan bentuk paling jujur dari kewarasan jiwa yang menolak menyerah.

Dari Desa Singasari
Rabu, 12 Nov 2025
12.15


Apakah artikel ini membantu?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *