Di hari ke tujuh, sebuah sajak perlahan tumbuh dalam geming pasca Dom menatap-baca runtuyan pesan singkat untuk kesekian kalinya yang menyala redup di genggaman. Ia memberi judul Otonom, mungkin sebagai penanda bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang ingin berdiri sendiri, lepas dari hiruk-pikuk yang tak lagi ingin ia pahami.
Sajak itu tidak lahir dari kebetulan; ia terbit dari pergumulan batin yang lama ia simpan, dari ragam empirik yang berputar tanpa jawaban. Pesan-pesan singkat itu hanyalah isyarat kecil, semacam pemantik yang membuat Dom kembali menyelami lubuk bahasa—mencari makna yang belum tentu ingin ditemukan, namun terus memanggil dari kedalaman palung rasa, sebelum akhirnya menjadi rangkaian sunyi yang menuntun ceritanya sendiri:
Topik hot ibu-ibu Kompleks Bunglon
Tak bisa move on dari citra balon
Benteng terkokok dari bencana bah
Meski dada-dadanya sudah seperti
Balon susut pasca pesta: Tetap saja
Balon rasa pasta primbon angon
Monoton dalam lakuan alazon
Tapi nyata dalam patron sendon
Burung-burung sangkar sudah lama
Tak tahu tentang riwayat sarangnya!
“Saya tak bisa menuliskannya jadi sebuah cerita utuh dan panjang, sepertihalnya telenovela. Sajak yang saya tuliskan ini pun hanya mengambil esensinya saja. Saya tak boleh hanyut dalam arusnya. Sebaliknya, saya harus bisa menghentikan deras alirnya ke hilir!” tulis Dom dalam buku diary birunya.
Senja yang menua dengan warna langit yang tembaga. Sepasukan burung pipit terbang ke utara, barangkali mereka akan pulang menuju sarangnya, selepas seharian mengembara ke tempat-tempat yang tak terduga. Sebagaimana manusia, burung tidak akan mendapatkan makanannya kecuali dengan pencarian, kerja keras dan usaha yang melelahkan.
Detik jam terus bergeser mendorong tirai senja digantikan selimut malam. Genap sepekan, Avieka tak menghubungi Dom. Sebagaimana biasanya, Dom tak pernah mencari keberadaanya, meski ada beberapa hal yang ingin ditanyakan langsung padanya. Akan tetapi getar dawai hati Dom yang merambat—berirama jadi terus rasa pada Avieka:
“Lagi di mana?”
“Kemping di lereng!”
“Ngapain?”
“Cari bahan bonsai!”
“To the point saja, apakah kisahku sudah jadi?”
“Belum satu kata pun!”
“Kenapa?”
“Ada yang mengganjal!”
“Soal?”
“Ketika kau menuliskan siapa tahu laku keras dan best seller. Bagi saya itu hal yang … maaf, naif!”
“Maksudnya itu begini, sebenarnya kenapa aku begitu teguh ingin kisahku dijadikan cerita fiksi, cukuplah aku yang mengalami hal itu, tidak dengan perempuan-perempuan lainnya!”
“Tapi saya tidak bisa!”
“Adakah alasan yang tepat untuk aku bisa paham?”
“Kau masih ingat tentang filosofi tanah?”
“Tentu saja, kenapa?”
“Itulah jawabannya!”
“Baik. Bolehkah aku nelpon?”
“Voice not saja!”
“Kenapa?”
“Mencegah dari buruk sangka itu lebih baik,”
“Maksudnya?”
“Di sini saya tidak sendirian, bersama kawan-kawan sehobi!”
“Baik. Kalau catting-an?”
“Silahkan, tapi jangan berpanjang-panjang!”
“Baik. Adakah kau menemukan sesuatu dalam diriku pasca membaca sepenggal kisahnya?”
“Sangat jelas tersirat!”
“Apa?”
“Tapi maaf sebelumnya kalau jawaban saya menyinggung perasaamu yang terdalam!”
“Ya, tak mengapa. Silahkan!”
“Sekali lagi, maaf sebelumnya. Di sisi lain manusiawi. Di sisi lainnya lagi ada ruang-ruang lain yang harus dibenahi dalam jiwamu. Saya berpraduka, engkau harus segera ke psikiater, maaf!”
“Bukankah aku juga pakar psikiatri?”
“Tapi hukum dunia berkata, tidak ada tukang cukur yang bisa mencukur rambutnya sendiri, meski gaya potongannya digundul sekali pun!”
“Ya. Kau benar. Sebelum aku menemui psikiater, hal apa yang kau khawatirkan dalam kondisi kejiwaanku?”
“Begini: Banyak pelajar tumbang bukan karena cahaya mereka redup, tetapi karena mereka enggan menyalakan kembali pelita yang sama—tak mau meninjau jejak langkahnya, tak mau mengulang ketukan yang membuat ingatan kembali hidup. mereka sesat bukan oleh gelap, melainkan oleh pintu-pintu yang tak pernah dibuka lagi. Maaf!”
“Adakah yang lebih fulgar?”
“Apakah kau masih ingat, tentang segenap percakapan, saat pertama kali kau menghubungi saya lagi?”
“Sebentar, yang paling pertama atau pasca mondok?”
“Pasca mondok. Di situ ada sebuah esensi dari sisi mata uang lainnya yang tak kau ungkapkan, perihal … Bila manusia tak melihat kejujuran atau kebohongan kita, bukan karena kita pandai menyembunyikan, melainkan karena Tuhan belum mengungkap tabirnya … Ya, Tuhan menyembunyikan banyak hal sebagai bagian dari sifat-Nya untuk menguji, mengajar, dan menjaga manusia; Dia menyembunyikan ridha-Nya dalam ketaatan, murka-Nya dalam maksiat, dan para wali-Nya di antara manusia, agar kita tidak mudah sombong atau meremehkan, serta ada juga misteri alam semesta dan masa depan yang tersembunyi bagi pengetahuan manusia demi kebaikan kita sendiri.”
“Tegasnya?”
“Cukuplah rahasia hidupmu hanya engkau dan Tuhan yang tahu!”
“Meski tujuannya demi kebaikan?”
“Tuhan sendiri berkata: baik itu buruk. Buruk itu baik. Baik menurutmu, belum tentu baik menurut Tuhan. Buruk menurutmu, belum tentu buruk menurut Tuhan.”
“Itu-kan ayat perang?”
“Ya, satu ayat yang terbagi dua. Sebagian ayatnya jadi bermakna khusus dan sebagian ayatnya lagi jadi bermakna umum,”
“Tetapi waktu telah melampauinya dan aku sudah terlanjur!”
“Maaf, selama ini kau berkisah pada siapa saja?”
“Pada yang peduli,”
“Lagi-lagi maafkan … apakah sebelumnya saya peduli? Tegasnya, apakah sebelumnya saya tahu utuh akan alur kisah kelammu itu?”
“Itu hanya pengecualian!”
“Pengecualian seperti apa yang kau maksudkan?”
Hening. Dalam jeda yang sunyi itu seseorang kerap terpanggil menelusuri biografi seorang yang tampak menjulang di puncak pencapaian. Semakin dalam perjalanan itu disimak, semakin besar rasa kagum yang tumbuh—seakan hidup seorang bisa dibaca seperti peta yang menjanjikan arah. Namun di sanalah letak kelirunya: kekaguman sering mengaburkan fakta bahwa setiap riwayat bukanlah jalan pintas, melainkan labirin batin yang hanya dapat dilewati oleh pemiliknya sendiri.
Seseorang yang membaca seorang itu lantas menyangka objek tersebut bisa dijadikan batu loncatan, padahal hidup tak pernah meberi lompatan melalui bayangan orang lain. Padahal, setiap manusia harus menempuh pendakiannya sendiri—menyelami sunyi, salah, jatuh dan bangkit—sebelum memahami bahwa kemuliyaan bukanlah warisan, tetapi kesadaran yang tumbuh dari perjalanan panjang yang tak terlihat.
“Membaca peta hadirmu seterang purnama. Namun membaca langkahmu jejak enigma terkaca. Tubuhmu aroma lumut yang diburu ikan-ikan. Siapa mengundang semut kala gula ditaburkan? Hidup bukan sekadar membolak-balikkan telapak tangan yang penuh penyesalan. Lihatlah, betapa banyak yang mencari kemuliaan dengan menggadaikan kenikmatannya, tapi tidak pernah sampai pada tujuan.”
“Avieka, adakah kau tahu, betapa sering nikmat yang dipuja orang merdeka—menjelma duri di telapak langkah, dan betapa kerap pula kerugian yang mereka hindari, justru menjadi pintu yang diam-diam dibukakan langit? Sebab kebebasan tak selalu berwujud cahaya. Kadang ia datang sebagai bayang yang menutupi mata; membuat kita lupa bahwa apa yang tampak sebagai berkat, bisa saja hanya rupa lain dari ujian.”
“Dan ada kalanya apa yang tampak sebagai luka merupa buah rahasia yang sedang tumbuh menjadi kekuatan.” Tulis Dom dalam buku diary birunya. Selebihnya, di lengkung langit yang jauh, gendut bulan berkalang pelangi. []









