DONGENG DI ATAS MEJA

Dongeng di Atas Meja 1

Cerita ini dimulai sejak pertama menulis diksi cerita. Apa yang ingin diceritakan, sebenarnya tak punya juga bahan cerita. Aku hanya teringat pada seorang penulis bernama Lintang Ismaya yang seringkali duduk di depan meja kerjanya, menatap secarik kertas kosong virtual di hadapannya. Ia telah menulis banyak kata-kata dalam hidupnya, tapi akhir-akhir ini ia sering merasa buntu dalam meracik kata.

Sebagai seorang penulis dan pengangguran yang banyak acara, yang juga peternak bonsai, ia telah banyak menulis tentang politik, sosial, dan agama. Ia memiliki gaya penulisan yang unik dan filosofis, yang membuat karya-karyanya menarik dan menjadi bahan perdebatan.

Di kelas sinau nulis bareng, ia sering teringat dengan karya-karyanya yang telah ditulisnya. “Mantan Tapol atawa Filosofi Singkong” sebuah monolog yang membahas tentang perbedaan dan harmonisasi dalam beragama dan berpolitik. Essai “Pagar Laut” yang membahas tentang pengendalian diri dan tirakat puasa sebagai cara untuk meredam hasrat dan keinginan, serta menciptakan kemaslahatan dalam hidup dan kehidupan manusia.

Ia juga sering teringat dengan latar belakangnya sebagai mantan jurnalis dan petualang rimba gigantik. Pengalaman itu telah memberinya perspektif unik dalam menulis tentang isu-isu sosial dan politik. Ia telah banyak belajar dari pengalaman tersebut, dan telah menggunakan pengalaman itu untuk menulis karya-karyanya.

Tapi entah kenapa, tiba-tiba saja, ia jadi sering teringat juga dengan kata-kata yang pernah ia dengar dari mendiang ibunya. “Musibah bertubi-tubi yang datang setelah berhijrah itu ujian, bukanlah hukuman. Hakikat dari ujian bukanlah untuk menghukum atau membenci, tapi justru bagian dari kasih sayang Allah karena ingin membesarkan, mendidik, membentuk, dan membuat kita lebih bijaksana, sampai pada akhirnya membahagiakan kita dengan kejutan dan kebaikan.”

Ia juga jadi sering tersenyum, dan mulai menulis kata-kata itu di atas kertas. Ia menulis dengan hati yang terbuka, dan jiwa yang bebas. Ia menulis tentang harapan, tentang kehidupan, dan tentang kebahagiaan.

Setelah selesai menulis, ia sering membaca kembali apa yang telah ia tulis. Ia merasa apa yang dituliskannya jadi buah pikirannya tersebut terasa kusut, dan kata-kata yang biasanya mengalir dengan mudah sekarang terasa seperti terhalang oleh dinding tebal. Ia tahu bahwa apa yang dituliskannya itu akan terus menjadi bahan perdebatan, tapi itu tidak masalah. Yang penting adalah ia telah menulis dari hati, dan telah berbagi kebijaksanaan dengan orang lain.

Bahkan, dengan rasa puas, setiap malam, setelah usai ditulis semua yang ada di kepalanya, ia sering merasa bahwa itu malam telah menjadi hari yang produktif, dan merasa telah berhasil menyampaikan pesan yang ingin disampaikan. Seperti biasa, ia akan bangkit dari kursinya, dan berjalan ke jendela laju membukanya lebar-lebar, sekadar untuk menikmati pemandangan alam malam yang indah—bertaburkan bintang-bintang. Ditemani dengan sebatang rokok dan secangkir kopi.

Sebelum terlelap tidur di ranjang warisan, ia akan merasa bahwa hidup ini penuh dengan hujan ujian, dan ia akan tetap bersyukur atas semua yang telah ia alami, meski terkadang tak bisa dinikmati dalam melewatinya. Kebiasaan uniknya sebelum benar-benar terlelap, ia senantiasa memutar perjalanan dirinya dari sejak bangun tidur sampai tiba lagi di atas ranjang. Aku bisa mengetahui kebiasaannya itu paska ikut kelas penulisan dan pernah menginap di rumahnya, secara kebetulan tidur satu kamar.

Pas bangun tidur itu, katanya suatu hari saat ia tengah mengajarkan cara menulis cerita kepada salah satu komunitas, konon adalah waktu terbaik untuk memutar ingatan. Dalam mendaur-ulang ingatan itu, lanjutnya, dan ia tiba-tiba terkenang pada seorang kawan yang curhat habis-habisan, perihal pekerjaanya sebagai guru honorer di sebuah Yayasan yang berlabel Pesantren. Selama bertahun-tahun tetap saja gajinya tak naik-naik. Namun, ketika turun bantuan dari pemerintah, pemilik Yayasan langsung membeli dua mobil dengan merk mobil ternama pula.

Asyik juga kalau dihiperbola ini kisah dengan perihal penderitaan-penderitaanya selama ia mengajar, katanya, ditambah dengan konflik keluarganya. Laju ditambah lagi dengan kisah curhatan selanjutnya yang berkata bahwa warisan mutlak untuk generasi pemilik pesantren itu hanyalah Yayasan yang semakin berkembang, bukan hanya sekadar kobong dan santri, tapi juga ada sekolah formalnya dari mulai jenjang PAUD sampai Universitas. Sementara kualitas ilmu semakin bias.

Ah, lupakan. Jika pun dibahas sampai menjadi sebuah karya ilmiah pun siapa pula yang akan peduli plus apakah ada yang mau membacanya, ditambah lagi adakah yang mau menerbitkannya, kemudian ketika dihubungkan dengan zaman: Bukankah ini zaman instan? Jadi lain juga kan alur ceritanya? Lanjutnya. Ah, sebaiknya kembali ke pokok bahasan saja, toh yang dituntut dalam hidup itu hanyalah konsisten dalam konsekuen:

Jadi, ya nulis itu, ya nulis sajalah, katanya, siapa tahu bisa jadi sebuah cerita. Lagi pula, setiap hari yang dilewati, meski pun diam saja di rumah, sebenarnya tak bisa lepas dari cerita. Baik dari mulai tidur, itu pun kalau dikasih mimpi sama Acintya. Bangun tidur bisa diingat dan dituliskan dengan bantal yang masih ada jejak ilernya.

Atau mundur satu langkah, tidur tak pakai baju. Pas bangun lupa, bahwasannya sebelum tidur itu udara menabur gerah, tapi malah terintimidasi halusinasi, imbas dari narasi-narasi receh. Bahwa ada makhluk halus yang menyetubuhi dan secara kebetulan pas bangun ada jejak mimpi basah di celana dalam. Padahal itu imbas tubuh yang berbalik dingin, hingga memaksa gajah purba[1] kejang-kejang lalu bersin-bersin.

Maju lagi satu langkah, lanjutnya, perjalanan dari tempat tidur ke kamar mandi bisa juga menjadi sebuah cerita yang sangat menarik. Misalkan; pas pipis, tiba-tiba nongol kepala ular sanca dari dalam kloset. Betapa paniknya laku diri. Mana pintu sudah dikunci, pas balik badan hendak melarikan diri, terpeleset. Ditambah sangkaan buruk lainnya, bahwa sengaja pula pintu wece ada yang mengunci dari luar.

“Lagi-lagi makhluk halus jadi sasaran atau istri yang suka iseng,” kataku dalam hati.

Padahal istri sedang berlibur di rumah orang tuanya, lanjutnya. Lagi pula itu kamar mandi dikunci oleh sendiri yang sudah jadi reflek imbas dari disebabkan kebiasaan anak, yang suka masuk tanpa permisi alias main serobot saja, hingga gajah purba kelihatan, lengkap dengan brewoknya yang mirip rambutan rapiah, yang mulai layu dan membusuk.

Baru satu langkah ke kamar mandi saja sudah dapat cerita yang mengerikan, bukan? Tanyanya di itu waktu. Apalagi kalau kita olah dengan daya imaji yang dielaborasikan dengan empirik terapan. Wah, bisa kian berbahaya itu kisah yang akan disajikan dalam pemetaan-pemetaanya yang menggelandang ke banyak ruang dan peristiwa.

Selera buang air besar mendadak hilang, misalnya. Ingin buat sarapan keburu sakit pinggang. Adakah cerita di atas bisa dikategorikan ke dalam kisah absurd. Ironis. Satir. Realis dan ataukah surealis? Semua balik lagi pada yang ingin dituliskan oleh sang penulis, tegasnya. Di samping itu pembendaharaan kata sangatlah mendukung, guna bisa tersampaikan maksud dan tujuan alur itu dibuat. Meski terkadang ada juga pengalaman yang sulit untuk dibahasakan dan susahnya mencari padanan kata.

Seperti itulah kata-kata dirakit-susunkan jadi ragam genre prosa. Ngomong-ngomong tentang tulisan, lanjutnya, kenapa pula harus ada judulnya? Sepertihalnya tulisan yang sedang dituliskan ini: “Kira-kira judulnya apa ya? Bagaimana kalau dikasih judul Dongeng di Atas Meja?”

Sebab, kata Lintang Ismaya, meja itu kehidupan: Di atas meja, ragam asupan tersaji. Sampai diskusi para dewan pun dihidangkannya di atas meja konstitusi. Kalau lapar barulah jadi meja makan. Kalau menghapal atau mengerjakan pekerjaan rumah barulah dikata meja belajar. Kalau meja di ruang kelas barulah dikata meja inventaris. Ya, sampai rusak pun harus didata dan disimpan di Gudang, tak bisa dimusnahkan.

Padahal lumayan juga kalau disedekahkan, katanya, bisa jadi suluh perapian bagi yang kedinginan atau yang di rumahnya tak punya kompor, tak perlu repot-repot ke tepian hutan sekadar cari kayu bakar dari ranting-ranting patah.

Andai saja Afrizal Malna membaca judul cerpen ini, sepertinya ia akan lebih membayangkan benda-benda yang berserak di atasnya, dan mungkin akan mengatakan pula bahwa cerpen ini terlalu inovatif, multidimensi, dan melampaui zaman, pikirku. Atau bisa jadi pula ia akan membayangkan meja sebagai sesuatu yang absurd.

Bisa saja meja-meja itu tiba-tiba menggantung di bawah langit-langit, bisa pula dijadikan panggung, bisa pula dijadikan sebagai tempat lahirnya para mutan, bahkan, bisa pula meja itu jadi aktor dari sebuah pertunjukan, dan hal-hal yang tak terbayangkan sebelumnya. Meskipun, mungkin Sutardji akan membantahnya habis-habisan dengan mengatakan bahwa meja itu adalah meja, bukan yang lain.

Cerita itu diary dan seperti diary, katanya. Menurutnya, diary itu bukan ajaran dari barat, tapi langsung diajarkan oleh Acintya dengan adanya catatan amal baik dan buruk yang dituliskan oleh Dewa Ciptagupta yang kemudian catatan tersebut diserahkan pada Dewa Yama atau dewa kematian yang juga dianggap sebagai penguasa alam baka dan hakim atas perbuatan baik dan buruk manusia.

Logis juga bahwa cerita itu tak ubahnya diary. Seperti terkenangku pada Kwik Kian Gie pada sebuah podcast yang berkata: Bung Karno belum sempat membangun ekonomi, tetapi ketika Bung Karno dijatuhkan itu infrastruktur politik sudah lumayan sekali. Negara sudah lumayan, tapi miskin. Tetapi Bung Karno mengetahui persis kekayaan yang ada di dalam: Di bawah perut bumi Indonesia. Persis.

Nah, Istana dibanjiri oleh perusahaan-perusahaan asing. CEO asing yang minta izin untuk mengeksploitasi sumber daya minyak dan macam-macam. Lalu Bung Karno menolak. Beliau memberi perintah kepada Khairul Saleh, sebagai waperdam; wakil perdana mentri waktu itu, tetapi bertanggung jawab khusus mengenai sumber daya alam.

Berikan sedikit saja. secukupnya devisa yang kita butuhkan. Mengapa tidak boleh? Kita tunggu sampai kita mempunyai insinyur-insinyur sendiri. Tetapi apa yang terjadi setelah Bung karno jatuh? Langsung saja pada bulan November pada tahun 1967., Time Life Corporation mengambil inisiatif dan membiayai sebuah konfrensi di Geneva antara pemerintah Indonesia dan counterpart-nya bukan pemerintah. Counterpart-nya adalah IGGI, IMF, World Bank, Asian Development Bank, dan korporat-korporat besar di bawah pimpinan David Rockefeller.

Kami (Indonesia) diwakili oleh semua Menteri. Yang paling top itu Sultan Hamengkubuwono IX dan pak Adam Malik sebagai Trumvirat bersama dengan pak Harto. Bawahnya adalah semua ekonom yang disekolahkan di Berkeley oleh Ford Foundation dan semuanya sudah jadi menteri di bawah pimpinan Widjoyo Nitisastro.

Nah, karena itu sudah ditulis oleh orang-orang Amerika sendiri, Jeffrey Winters, Power Emotions, muridnya dia, Bradley Simpson, John Pliger, juga sudah pernah menulis itu semua. Disitulah Indonesia dihabisi dan dalam waktu tiga hari Indonesia dihabisi, jadi dibagi Freeport untuk Amerika, ini untuk ini, ini untuk Eropa, sudah dibagi. Sampai sekarang masih berlaku kontrak itu.

Bung Karno sudah mengerti, sekolahkan supaya dikelola sendiri karena ini adalah modal awal yang luar biasa besarnya. Yang bisa menghasilkan cash luar biasa, dikelola sendiri oleh pemerintah, tapi langsung diberikan kepada asing.

Saya mengatakan bangsa Indonesia ini sedang dilanda korupsi dan tuan-tuan yang terhormat dari seluruh dunia ini mendukung para koruptor Indonesia untuk menghabisi kekayaan alam kita. Dan kalau tuan-tuan bersikap demikian; apakah tidak bisa dipahami bahwa Indonesia lebih menjurus ke kiri ideologinya.

Bisa juga kita menulis cerita tentang isu-isu terkini, tapi, dikemas seolah sedang menceritakan legenda yang lekat dengan lokalitas, lanjut Lintang Ismaya. Misalkan, isu tentang pemerintah akan menyita tanah warisan yang tak ditempati bertahun-tahun, kita ceritakan dengan kisah cerita yang punya kemiripan, seperti Bode Riswandi dulu pernah menulis cerpen berjudul Orang-Orang Semoyang.

Bahkan, potongan-potongan sejarah, yang belum jelas kebenarannya, atau masih diragukan, bisa juga kita angkat menjadi cerita, katanya kemudian. Meskipun, memang, kalau kita melihat ucapan AA Navis dalam salah satu cerpennya, Rekayasa Sejarah Si Patai, bahwa palsu tidaknya sejarah lama, tidak akan merobah dunia sekarang dan nanti.

Atau bisa juga konflik antar pemuka agama kita sampaikan dengan alur cerita yang lucu, tapi kritis, sekaligus jail, lanjutnya, seperti kisah perdebatan cara berdoa yang pernah ditulis Seno Gumira Ajidarma dalam cerpennya, Dodolitdodolitdodolibret. “hahaha”, tawanya tak tertahan hingga kumisnya yang sebagian telah memutih pun berkibaran seperti bendera partai yang mengaku beraliran putih tapi terjerat kasus suap sapi impor.

Pungkasnya yang diselingi napas panjang, laju menarik-hembuskan asap rokok. Kepulan-kepulan asap juga bisa diolah jadi bahan cerita, bisa itu jadinya puisi, misalkan: Kepulan-kepulan asap rokok/ yang kau mainkan itu/ menjelma layar pentas kehidupan// di alir kenangku/ engkau di mana?// lanjut paparnya.

Bisa juga jadi awal narasi pada kasus bunuh diri yang masih menyimpan misteri: Semua bukti lengkap terkumpul, tapi seperti kepulan asap rokok yang perlahan memudar. Meninggalkan karat nikotin di sebalik dada, dan lamat-lamat menjelma lakban kuning yang membungkus rapat kepalamu jadi penanda enigma. Bagaimana tidak; perlu effort dan insting menyiksa diri sendiri yang tak biasa, sebab tanganmu harus bisa melilitkan lakban di kepala dan mulutmu dengan rapi. Tandas Lintang Ismaya.

Patahan-patahan kisah ini kalau terus dituliskan niscaya tak akan sampai-sampai pada tanda titik. Sebagaimana kalau kita berbicara titik saja, banyak sudah untuk dikupas dan dibahasakan. Misalkan, benarkah fungsi titik itu penanda berhenti alur kalimat yang sedari tadi diuraikan? Kenapa juga ada titik dua dan titik koma? Laju ada titik kemudian berdempet dengan koma paska penulisan gelar? Apakah titik itu bisa kalah dengan koma kalau didempetkan menulisnya? Sebabnya, ya cerita kembali mengalir lagi.

Akan tetapi ada juga titik yang mengembang anak kalimat. Jadilah beranak-pinak dalam melewati titik ke titik yang terus jadi sebuah kisah yang tak berkesudahan. Bisa jadi bahwa fungsi titik itu sebenarnya penanda alasan yang disepakati guna berhenti, padahal itu hanya alibi saja dari malasnya melanjutkan kisah. Jadinya, ya dibikin tamat saja, seperti kisah ini.

Selamat bereforia![2] []


[1] Gajah Purba. Istilah bikin sendiri menandakan kelamin lelaki.

[2] ! Sengaja pakai tanda seru bukan titik, biar tak kena pribahasa menelan ludah sendiri dari apa yang tadi aku tuliskan: Perkara alibi titik tersebut sebagai alasan kemalasan untuk melanjutkan jalan cerita atau beretorika!

KOSONG
Baca Tulisan Lain

KOSONG


Apakah artikel ini membantu?

One thought on “DONGENG DI ATAS MEJA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *