PUISI Bambang Oeban

rabiah

SURAT CINTA

Malam turun perlahan menyapa kebeningan, serupa doa menetes dari langit. Aku duduk di tepian sunyi, memanggil satu nama yang tak pernah sirna dalam taman jiwa:

Rabi’ah …
Aku jatuh cinta padamu,
Rabi’ah al-Adawiyyah.
Bukan karena engkau perempuan, bukan karena kisah sucimu, tapi karena lewat dirimu aku menemukan wajah Tuhan yang tak bisa kulihat lewat mata dunia.

Engkau berucap lirih menyentuh mata sukmaku, “Jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, pangganglah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, haramkanlah surga itu bagiku. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena cinta kepada-Mu, jangan jauhkan aku dari keindahan-Mu.”

Oh, Rabi’ah …
Setiap kali kudengar doamu, hatiku terbakar. Betapa kecil cinta yang selama ini kumiliki, betapa sempit ruang hatiku yang penuh pamrih. Engkau mengajarkan: Cinta sejati bukan menuntut balasan, tapi penyerahan diri sepenuhnya. Tidak ada “aku ingin”, yang ada hanyalah “Aku ridho.”

Rabi’ah, engkau yang telah mencuri hatiku lewat syair-syairmu, bukan untuk dirimu, melainkan untuk Dia. Terkadang aku mencoba menjadi seperti engkau, berzikir dalam diam, memanggil nama Allah di antara detak jantungku sendiri. Namun, betapa sering cinta ini masih terikat keinginan, masih ingin dimiliki, masih ingin diingat, masih ingin dibalas. Dan aku pun tergilas, malu pada cintaku sendiri.

Rabi’ah…
Engkau berjalan sendiri di padang Basrah, tanpa harta, tanpa suami, tanpa rasa takut berlebihan. Engkau telah menukar dunia dengan kelekatan sempurna kepada Tuhan.

Di dalam kesunyian, engkau temui rumah. Di dalam lapar, engkau dapati nikmat. Di dalam air mata, engkau rengkuh lautan cahaya.

Mampukah aku, Rabi’ah?
Bisakah aku mencintai seperti engkau, tanpa berharap apa pun, kecuali kasih-Nya?

Malam semakin menukik ke dalam.
Aku tak tahu lagi siapa yang berdoa.
Lidahku berhenti, tapi hatiku masih menyebut nama-Nya. Mungkin inilah yang kau maksud, ‘Rabi’ah Dalam Fana’, lenyapnya diri dalam Cinta. Ketika yang mencintai dan yang dicintai melebur jadi satu. Engkau hidup, bukan karena jasadmu. Engkau menyala, tiada tersentuh bara, bahkan cinta telah menjadi ragamu.

Ya Allah …
Jika cinta ini berkabut semu, sucikanlah. Jika cinta ini masih ingin balasan, cabutlah akarnya. Jadikan aku nyala kecil di samudera kasih-Mu yang tak pernah ku temui batasnya.

Pagi datang benderang.
Cahaya pertama menyentuh wajah, aku tersenyum, bukan sebab bahagia, melainkan pada akhirnya membuat aku mengerti. Mencintai Tuhan bukan berarti menjauhi dunia, tapi melihat dunia sebagai wajah-Nya yang lain. Setiap bunga, air mata dan rasa kehilangan, semua pelajaran cinta.

Rabi’ah …
Aku tak lagi mencarimu di padang Basrah, lantaran engkau ada di dalam setiap hati yang berzikir dengan jujur. Engkau adalah nur yang tak pernah padam pada diam.

Kini aku berjalan tanpa takut,
aku telah menemukan cinta,
di dalamnya, aku menemukan
sejatinya Tuhan.

Ya Allah, Engkau yang kusebut
dalam senyap, lewat nama Rabi’ah al-Adawiyyah, betapa Engkaulah tujuanku. Jika cinta ini masih milikku, ambillah. Jika cinta ini benar-benar untuk-Mu, biarkan ia hidup selamanya, sebab aku tak ingin surga, aku tak ingin dunia, aku hanya ingin Engkau dan cinta yang tak berkesudahan, di ujung keabadian.

Dari Desa Singasari
Kamis, 13 Nov 2025
00.18

SAJAK-SAJAK Widi S Kudo
Baca Tulisan Lain

SAJAK-SAJAK Widi S Kudo


Apakah artikel ini membantu?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *