SARINAH ANGELLA

bo

Sebuah Cerita Novel SARINAH ANGELLA mahakarya BAMBANG OEBAN

BAGIAN – 01 | RUMAH TUA

Krekeeet … braaak,
zzzssshhh, plassshhh …

Suasana alam
di sekitar rumah Kartika,
benar-benar menghening, semacam memberikan firasat, hendak mengantar sejarah kelam kehidupan manusia, kemudian,
secara perlahan bergerak
kembali seperti
biasa …

Angin sore dari arah sungai berhembus lembut, sejuk, mengelus lembab dinding rumah bangunan tua milik keluarga Kartika. Catnya sudah mulai memudar, terkikis waktu, tapi masih menyimpan aroma wangi kayu jati tua, peninggalan masa lalu.

Di teras, terdapat kursi ukir jepara tua yang mengundang aura mistis bagi siapa pun yang menduduki, seakan tak mau beranjak, inginnya berlama-lama berdiam, sambil menikmati teh hangat atau kopi dibarengi cemilan ringan, seperti: singkong goreng atau getuk, betapa nikmatnya, serasa surga itu memang ada di dunia. Dan di atasnya tergantung lampu kristal tinggalan masa lalu, beratus tahun usianya, Harganya, jangan ditanya, begitu banyak kolektor yang mau membeli, berapa pun harganya, tanpa harus tawar-menawar, langsung dilunasi lewat cek kontan. Memang, benda antik, barang langka, tidak ada harga standart secara khusus, sekali pun harganya melebihi tiga mobil mewah produk Eropa, kalau sudah terpikat hati sang kolektor, akan diperjuangkan agar bisa jadi milikinya, itulah yang disebut kepuasan batin betapa mahal harganya.

Di sisi lain, dibalik lampu kristal antik yang memiliki pesona tinggi, suasana di beranda rumah, ternyata ada tersimpan misteri atau keanehan, pada setiap malam Selasa atau Jumat Kliwon, kerap terdengar suara riuh para penentu kebijakan di masa lalu, bersama tuan-tuan Belanda, berbicara masalah kepentingan perdagangan yang berbumbu derai tawa canda yang renyah. Pot bunga yang berderet menghias beranda pun usianya sama-sama tuanya, bisa dipastikan sudah ada sejak jaman Hindia Belanda.

Di dalam rumah, Mbok Ijah sibuk mondar-mandir sambil bergumam, menahan rasa kesal dan marah.

“Ya Allah, Ampuuun, siapa yang menaruh panci di atas kompor, api lupa dimatikan?! Kacau, masakan jadi hangus ndak karuan, untung saja ndak kebakaran! Gendooon! Ini pasti kerjaanmu!” Suara cemprengnya menggema sampai ruang tengah.

Dari arah halaman belakang terdengar jawaban lantang dengan logat Jawa yang kental,

“Mbok! Saya ini lagi nyapu sampah! Sungguh, saya sama sekali ndak pegang kompor, lha ini, saya kena apesnya, malah kepegang kotoran kucing, mbok! Belum lagi mau ganti genteng yang bocor!”

Sesaat, Gendon muncul dari balik pintu dapur dengan topi koboy butut, miring, dan sapu lidi masih di tangan. Keringat dibiarkan menetes di wajahnya yang gelap, terbakar matahari.

Gendon memperhatikan ke arah kompor, di panci ada masakan warna hitam legam, menyebar bau yang menyengat. Wajah Gendon berubah terlihat kikuk, malu, merasa bersalah, wajahnya terlihat sebodoh-bodohnya manusia di dunia, dialah paling bodoh. Tapi Gendon tetap saja berusaha untuk menutupi rasa malunya, mendekati Mbok Ijah, ia bicara agak pelan, “Perasaan, kompor sudah saya matikan, apa sayanya yang memang lupa ya?”

Mbok Ijah melotot.
“Saya sudah pesan berkali-kali, tolong kompor dimatikan, kamu itu bagaimana sich, Gendon?! Lha ini, masakan hangus semua, opor ayam, sudah mirip tumpukan arang! Saya sudah pasti kebagian omelan Mbak Sarinah! Tapi, hadeeeh, tobat, tobaaat, ternyata kok saya yang paling goblok, ndak ingat kalau kamu itu penyakitnya lupa sudah kelewatan!”

Belum sempat Gendon membalas, dari lantai atas terdengar langkah kaki, pelan menuruni tangga. Langkah itu lembut, tapi entah kenapa selalu menimbulkan kesunyian aneh setiap kali terdengar? Sarinah Angella muncul di ujung tangga, mengenakan gaun putih transparan, membuat lekuk liku tubuhnya membayang, begitu indah. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai ditiup angin dari sela jendela, sedikit berantakan, tapi justru itulah yang membuat pesona tersendiri, Gendon pun terpukau, meski tinggal se rumah, ketemu saban hari, tapi masih saja terpesona setiap kali melihat kecantikan Sarina Angella, benar-benar, wow!

Cahaya sore yang masuk dari jendela menerpa wajah Sarinah Angella yang putih bersih bagai mutiara, matanya sendu seakan menusuk ke jantung Gendon maupun Mbok Ijah.

“Mbok… jangan berisik terus, saya lagi pusing,” katanya pelan.

Mbok Ijah langsung bungkam dan tertunduk, Gendon malahan mendekati Mbok Ijah, ekspresi wajahnya berlagak santai, bicara setengah berbisik.

“Serius, Mbak Sarinah itu, kalau keluar dari kamar, rasanya kaya ada malaikat, yang mengawal ya Mbok …”

Sarinah Angella menoleh padanya, tersenyum samar dan ala kadarnya, tetap daya pukaunya seperti bidadari selepas mandi di telaga.

“Kalau melihat Mbak Sarinah selalu dalam kawalan malaikat, lha kalau melihat kamu, campur bau kotoran kucing.”

Gendon mengendus tangan kirinya.
“Lha iya, bener Mbok, kok saya lupa cuci tangan?”

Sarinah Angella masih tersenyum, lalu melangkah pelan ke arah jendela, memandangi sungai di kejauhan.
Suasana tiba-tiba hening.

Dari arah sungai, suara gamelan samar-samar terdengar, entah datangnya dari mana? Kadang pelan seperti dibawa angin, kadang jelas seperti dimainkan di samping rumah, sesekali dibunyikan Mbok Ijah dan Gendon.

“Aneh, kok saban sore, terdengar suara gamelan … pasti ada yang membawa …”

“Gamelan dari mana ya Mbok?” tanya Sarinah Angella tanpa menoleh.

“Kurang tau, Mbak. Menurut warga di sekitar sin, suara gamelan itu, dari kampung di seberang sungai, Tapi di sana, satu pun sudah ndak ada penghuninya, dan sempat viral di Tiktok atau Youtube, dengan sebutan ‘Kampung Mati,’ Lagi pula, jembatannya saja ambruk, sekitar lima tahun yang lalu.”

Sarinah Angella diam.
Angin berhembus terasa lebih dingin. Tiba-tiba dari plafon terdengar bunyi: ‘kreeekk… kreeekk’ … seperti langkah kaki merayap.

Mbok Ijah menjerit kecil. “Astaghfirullah! Gendon, Itu Siti!”
“Siti siapa, Mbok?” Sahut Gendon.
“Maksud saya, si tikus, Gendon!”
“Ndak lucu. Mana ada ceritanya tikus pakai sandal, Mbok?” balas Gendon, suaranya agak gemetar.

Tepat saat itu, setetes air menetes dari langit-langit rumah, jatuh ke lantai dekat kaki Sarinah Angella.

Gendon mendekat, jongkok, dengan tajam menatap cairan itu.

“Mbok, ini bukan air kencing tikus, ini asli darah segar …”

Belum sempat dia melanjutkan, Sarinah Angella berbalik pelan, wajahnya tenang tapi matanya berubah tajam.

“Jangan ada yang menyentuh.”
Suaranya berat, hampir seperti dua suara terucap secara bersamaan.

Mbok Ijah spontan mundur beberapa langkah, tanpa disadari, sapu jatuh dari tangannya. Gendon menggigil. “Tapi saya… hanya ingin membersihkan, Mbak…”

Sarinah Angella tersenyum tipis.
“Yang kotor bukan lantainya, Don. Tapi hati dan pikiran manusia.”

Lalu Sarinah Angella, tubuhnya berbalik, dan naik lagi ke tangga atas, tanpa menoleh, meninggalkan aroma melati yang samar … bercampur bau amis darah yang menyengat.

Mbok Ijah menatap Gendon dengan wajah pucat.
“Don… aku merasakan hawa yang aneh dan kurang sedap …”
Gendon menjawab lirih, “Mbok… seandainya saya mati sore ini, tolong dikubur di belakang rumah saja, dekat sungai, di bawah pohon Ketapang, dekat pohon jambu monyet ya.”

Suara mereka tertelan hembusan angin. Dari arah plafon, tetesan cairan itu kini makin deras, membentuk genangan kecil… dan di tengah genangan itu, seperti ada bayangan wajah perempuan lain—mirip Sarinah Angella, tapi dengan mata berwarna biru toska.

BERSAMBUNG …


Apakah artikel ini membantu?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *