SAJAK-SAJAK Bambang Oeban

boang

NEGERI MINUS BACA

Aku tahu di negeri minus minat baca, huruf-huruf berbaris seperti pasukan lelah, tak ada yang menatap mereka dengan cinta, tak ada yang menyentuh punggung buku kecuali debu dan laba-laba.

Aku tahu, di negeri ini, suara guru serupa gema yang ditinggalkan di ruang kosong, murid menyalin tanpa mengerti, mereka hafal tanpa memahami, dan di balik senyum di foto wisuda, ada ruang hampa bernama lupa.

Negeri ini pernah dijanji oleh kata-kata besar, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawan,” katanya. Tapi siapa yang masih membaca kisah pahlawan?
Nama-nama mereka kini hanya dihafal untuk lomba tujuh belas Agustus, lalu dilupakan kembali,
seperti halaman yang tak pernah dibuka.

Aku tahu di negeri ini, buku tak lagi jadi jendela dunia, karena dinding rumah terlalu sibuk menayangkan dunia lewat layar kaca. Anak-anak lebih kenal bintang sinetron daripada tokoh revolusi, lebih hafal lirik lagu galau daripada isi Pembukaan UUD 45.

Namun, aku tak ingin berputus asa.
Aku masih percaya pada embun yang turun di pagi hari, pada selembar halaman yang terbuka,
pada seorang anak kecil yang diam-diam membaca di pojok perpustakaan sekolahnya,
meski teman-temannya menertawakan: “Ngapain sih baca buku tebal begitu?”

SAJAK-SAJAK Rachman Sabur
Baca Tulisan Lain

SAJAK-SAJAK Rachman Sabur

BUKU DIBUANG

Aku tahu, di negeri minus minat baca, perpustakaan jadi tempat yang sepi seperti makam ide. Buku-buku menua tanpa sentuhan, judul-judulnya mengeluh pelan, sebab setiap kata lahir untuk dibaca, bukan dilupakan.

Aku pernah melihat seorang petugas kebersihan, menyapu halaman sekolah dengan satu tangan menggenggam koran bekas,
ia membacanya diam-diam di sela kerja, dan di matanya aku melihat nyala — nyala pengetahuan yang tak dipadamkan oleh status sosial.

Sementara di ruang rapat para pejabat, kata “literasi” dipajang seperti aksesoris, disebut dalam pidato tapi tak dirasakan dalam dada. Mereka bicara soal indeks membaca, tapi lupa membaca hati rakyatnya.

Negeri ini cinta slogan, tapi malas isi. Cinta judul, tapi lupa makna. Buku dijadikan simbol kecerdasan,
tapi isinya tak pernah disentuh oleh tangan keingintahuan.

Aku ingin berkata kepada mereka:
“Buku bukan sekadar benda mati di rak, ia adalah suara yang memanggil nurani, ia adalah darah para pemikir, ia adalah napas dari zaman ke zaman.”

Tapi suaraku tenggelam oleh dentum musik viral, oleh drama politik di layar kaca, oleh kebiasaan menggulir layar tanpa makna.
Dan bangsa ini pun perlahan jadi penonton yang pasif, mengganti refleksi dengan komentar singkat,
mengganti pikir dengan julid, mengganti perjuangan dengan lucu-lucuan.

PUISI Diro Aritonang
Baca Tulisan Lain

PUISI Diro Aritonang

BANGSA TAK BACA

Aku tahu, di negeri minus minat baca, kebodohan bukan lagi aib, tapi tren. Ketika viral lebih penting dari moral, dan popularitas lebih tinggi dari kualitas.

Anak muda disibukkan dengan gaya hidup cepat saji: kata disingkat, pikiran dipotong, emosi dipamerkan,
dan buku — dianggap fosil dari masa lalu.

Padahal bangsa ini dibangun oleh para pembaca, oleh para penulis yang menulis dengan darah dan air mata, oleh para pemimpi yang membaca masa depan di antara huruf-huruf nasib.

Apakah mereka lupa bahwa Proklamator menulis? Bahwa pahlawan membaca sejarah dunia untuk merancang kemerdekaan?
Bahwa bangsa ini lahir dari pena, bukan hanya pedang?

Namun kini pena kehilangan gengsi,
buku kehilangan arti, dan nalar ditinggalkan di meja warung kopi,
digantikan gosip dan spekulasi tanpa bukti.

Aku ingin mengguncang pundak anak bangsaku: “Bangunlah! Buka matamu! Baca sejarahmu sebelum kau kehilangan arahmu!”

Tapi mereka sibuk dengan ponsel di tangan, menatap dunia tanpa pernah melihat ke dalam dirinya sendiri.

Aku tahu, minat baca tak lahir dari perintah, tapi dari kesadaran.
Kesadaran bahwa membaca bukan sekadar menambah ilmu, tapi menjaga jiwa agar tak mudah dibohongi.

PUISI Diro Aritonang
Baca Tulisan Lain

PUISI Diro Aritonang

NEGERI PENGHAFAL

Aku tahu, di negeri ini banyak yang bisa mengutip,
tapi sedikit yang bisa mengerti.
Banyak yang bicara tentang bangsa,
tapi tak mau belajar tentang sejarah bangsanya.

Bangsa yang berhenti membaca adalah bangsa yang berhenti berpikir. Dan bangsa yang berhenti berpikir, adalah bangsa yang menunggu dijajah kembali — bukan oleh senjata, tapi oleh kebodohan yang dipelihara sendiri.

Di negeri minus minat baca, hoaks tumbuh lebih cepat dari fakta. Kebohongan dipuja, kebenaran diabaikan, dan ketulusan dikalahkan oleh sensasi.

Para pendusta tertawa di layar,
karena mereka tahu: rakyat malas membaca kebenaran, mereka hanya membaca judul.

Oh, betapa tragisnya negeri yang membanggakan kemerdekaan, tapi masih diperbudak oleh kemalasan berpikir.

HILANG SUARA

Dengarlah, kata-kata yang lama terkubur ingin bicara. Mereka menunggu dibuka dari halaman-halaman yang berdebu. Mereka ingin menceritakan kisah tentang cinta tanah air, tentang keberanian menulis, tentang kemerdekaan berpikir.

Tapi siapa yang mendengar?
Ketika buku diterbitkan, tak ada yang membeli. Ketika puisi dibacakan, hanya sedikit yang peduli. Ketika ilmu ditawarkan,
orang lebih memilih hiburan.
Namun aku tak ingin menyerah.
Karena di setiap zaman gelap,
selalu ada lilin yang menolak padam.

Aku percaya, satu anak yang membaca hari ini, adalah satu cahaya untuk masa depan. Satu guru yang menanam cinta buku,
adalah satu penjaga bangsa dari kebodohan.

Dan satu bangsa yang membaca,
akan menjadi bangsa yang tak bisa diperdaya.

HARAP SEPARUH GELAP

Aku tahu, perubahan tak datang dari langit. Ia tumbuh dari kebiasaan kecil yang dijaga dengan cinta. Dari membaca lima halaman setiap hari, dari menulis satu kalimat jujur, dari mendengar satu cerita sejarah dengan hati terbuka.
Kita tak bisa mencintai negeri ini
tanpa mengenal pikirannya, tanpa membaca jiwanya, tanpa menulis kembali cita-citanya.

Aku tahu, di negeri minus minat baca, aku harus tetap menulis. Aku harus terus membaca. Karena kalau aku berhenti, siapa lagi yang akan meneruskan?

Mungkin mereka akan menertawakan, menganggapku kuno, tapi aku tak peduli. Sebab aku percaya, buku adalah senjata, dan kata-kata adalah peluru bagi kebenaran.

SAJAK-SAJAK Arif Fathur
Baca Tulisan Lain

SAJAK-SAJAK Arif Fathur

SUMPAH PEMBACA

Aku bersumpah, akan terus membuka halaman demi halaman, akan terus mengajarkan membaca kepada anak-anak negeri, akan terus menulis untuk mengingatkan bangsa ini agar tak buta hati.

Karena membaca bukan sekadar kegiatan, ia adalah bentuk perlawanan. Perlawanan terhadap pembodohan, terhadap kemalasan berpikir, terhadap lupa sejarah.

Maka biarlah aku disebut idealis,
asal aku tak menyerah pada arus pasif. Karena pahlawan sejati bukan hanya yang berperang dengan senjata, tapi yang melawan kebodohan dengan pena dan buku.

SERUAN BANGKIT!

Wahai anak bangsa, bangkitlah dari tidur digitalmu!
Bukalah matamu, dan lihatlah dunia lewat jendela pengetahuan. Jangan biarkan peradabanmu dirampas oleh ketidaktahuan.

Bangsa ini pernah mencatat sejarah besar, ketika pemuda berani membaca dunia, dan menulis Indonesia di tengah penjajahan.
Kini giliranmu melanjutkan, bukan dengan senjata, tapi dengan pikiran yang tajam dan hati yang berani.

Karena sejatinya, kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan berpikir.
Dan kemerdekaan berpikir hanya tumbuh di negeri yang mau membaca.

SAJAK-SAJAK Rachman Sabur
Baca Tulisan Lain

SAJAK-SAJAK Rachman Sabur

AKU TAK DIAM

Aku tahu di negeri minus minat baca, perjuangan ini panjang, tak selesai oleh satu generasi.
Tapi aku tak akan diam. Aku akan terus menulis, karena kata-kata adalah bentuk cintaku pada negeri.

Aku akan terus membaca, karena pengetahuan adalah bentuk imanku kepada masa depan. Dan jika suatu hari nanti aku tiada, biarlah anak-anak membaca puisi ini, agar mereka tahu: pernah ada satu suara kecil yang percaya bahwa bangsa ini akan bangkit — dari halaman yang dilupakan, menuju cahaya yang abadi.

Cafe Tujuh Langit – Kota Wisata
Senin, 27 Okt 2025., 14.17

SAJAK-SAJAK Rachman Sabur
Baca Tulisan Lain

SAJAK-SAJAK Rachman Sabur


Apakah artikel ini membantu?

Tulisan Lain dari Penulis :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *